Aku merasakan ketenangan dalam pelukan hangat Ibu. Aku memang berkeinginan untuk menempuh pendidikan hingga jenjang yang lebih tinggi. Menggapai impian-impian di tengah keterbatasan yang aku miliki. Namun, terkadang aku juga ragu untuk melanjutkan sekolahku melihat kondisi ekonimi keluarga kami saat ini.
Semangat, dan ragu terkadang menjadi satu dan membuat kepalaku riuh. Aku takut membebani ibu yang semakin hari semakin menua.
“Dengan kamu bersekolah, kamu sudah meringankan beban Ibu, Nak. Ingatlah satu hal ini. Suatu saat nanti, kita pasti akan meninggalkan dunia ini. Dan Ibu berharap ketika Ibu meninggalkan kamu, Ibu meninggalkan ilmu yang cukup untuk kamu bertahan di dunia yang sementara ini. Jangan khawatirkan tentang dana, Nak.
Allah maha memberi rezeki. Selagi kita sudah berusaha semaksimal mungkin, serahkan semua hasil kita kepada-Nya. Karena, Allah mengetahui apa yang terbaik untuk setiap hamba-Nya.” Ibu menjeda ucapannya.
“Askara Mumtaz Wijaya, anak semata wayang Ibu yang kuat dan hebat. Kita semai sisa-sisa langkah ini bersama, ya? Ibu yakin, Nak. Suatu saat nanti kamu akan menjadi laki-laki yang hebat dan sukses dunia akhirat. Doa Ibu selalu menyertai di setiap langkahmu,” pungkas Ibu.
Artikel yang sesuai:
Aku mengurai pelan pelukan ibu, dan menghapus bekas air mata yang sejak tadi membasahi pipinya. Aku tersenyum.
“Askara akan tetap melanjutkan sekolah ini. Sesuai dengan permintaan ibu. Aku mohon doanya ya, Bu.”
Mendengar pernyataanku, Ibu yang beberapa menit lalu gelisah, matanya sembab, kini menjelma bak sekuntum bunga yang bermekaran di taman. Ibu tersenyum semringah dan membuatku candu menatapnya.