Cerpen – Askara Nisha by Salma Mufidatun

Cerpen Askara Nisha

“Askara akan berusaha, Bu.”

Ibu tersenyum. “Ibu mau pergi ke pasar dulu. Kamu mau ikut atau di rumah saja?”

Aku mengangguk. “Aku ikut ibu. Sekalian mau pergi membeli alat-alat untuk melukis. Alhamdulillah banyak pesanan lukisan hari ini.”

Aku gemar memainkan warna-warna yang kusatukan untuk membentuk sebuah lukisan, yang kemudian akan aku jual. Awalnya melukis bagiku hanya sekadar untuk menyalurkan emosi dan hobi, tapi ternyata lukisan yang kubuat mampu menghasilkan sedikit pundi-pundi rupiah. Meski hasilnya tidak seberapa. Setidaknya cukup untuk sekadar menambah uang saku.

Jalanan terlihat lengang. Tidak banyak kendaraan berlalu-lalang. Rumahku terletak di desa. Itulah mengapa kendaraan bermotor masih jarang untuk ditemukan. Hanya ada pejalan kaki dan sepeda. Jumlah pohon di sisi jalan pun masih banyak. Terlihat rindang dan menyejukkan mata. Berbanding terbalik dengan keadaan kota yang memang padat akan kendaraan dan minim pepohonan.

Aku duduk di sebuah kursi. Sembari menunggu Ibu keluar dari pasar, aku telah menyelesaikan sebuah lukisan. Ketika aku meletakkan lukisan itu di sampingku, aku melihat seorang nenek yang terlihat kesusahan untuk menyeberang jalan. Aku mengambil tongkatku, kemudian menghampiri beliau.

“Mari, Nek. Saya bantu.”

“Terima kasih, Nak. Kamu anak yang baik.”

Aku tersenyum lantas mengangguk. Benar apa kata Ibu. Aku harus berdamai dengan diriku sendiri mulai sekarang. Membantu orang untuk menebus kesalahan-kesalahan yang terjadi di masa lalu.

“Kenapa ayahmu tidak pernah mengambil rapor semester? Selalu saja ibumu. Kamu tidak punya ayah? Oh, saya lupa. Ayahmu kan, ada di penjara. Kamu hanya anak dari seorang narapidana.”

Lontaran kalimat itu sudah biasa aku dengar. Hingga aku mampu menghadapinya dengan tenang. Mereka hanya bisa berbicara tanpa mau memedulikan bagaimana perasaan orang yang sedang dibicarakan.

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn