Aku menatap Nisha yang menatap kosong ke depan. Aku tahu pasti dia sangat lelah.
“Dan, gue ngga pengen ngerebut posisi lo di paralel satu!”
Deg!
Kalimat itu seketika membuatku bungkam. Apakah Nisha juga menganggapku sebagai saingan seperti yang lain?
Nisha tersenyum menatapku. “Tenang aja. Gue ngga pernah menganggap lo sebagai saingan kayak yang lain, kok. Gue anggap lo layaknya sahabat gue sendiri. Teman berbagi cerita dan ilmu.”
Artikel yang sesuai:
Aku menghela napas. “Aku kurang mengerti kenapa mereka harus menjadikanku sebagai saingan. Padahal aku bisa bantu mereka ngerjain tugas bareng. Sharing ilmu bareng.”
Nisha mengangguk.
“Gue setuju. Semenjak gue mengenal lo, gue jadi sedikit lebih tenang dalam dunia persaingan nilai dengan orang-orang. Karena sebenarnya, musuh terbesar gue ya diri gue sendiri. Bukan orang lain. Gue berusaha semampu gue.
Lo pernah bilang ke gue bahwa apa-apa yang sudah ditakdirkan nggak akan pernah terlepas untuk gue dapatkan. Askara. Sesuai dari nama lo yang memiliki arti cahaya, dan nama gue yang berarti malam. Lo mampu menyinari kelamnya langit malam gue. Dan terkadang gue pengen jadi lo, Askara. Hidup di keluarga yang sederhana, yang nggak terlalu banyak gaya.”
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Nisha.
Kilat menyambar membelah langit, menandakan hujan deras akan kembali datang. Tiba-tiba terdengar suara hantaman keras yang membuat ricuh keadaan setempat.
BRAK!
DUAR!
TIIIN!!