Cerpen – Min Verden by Adhina Tabryana

Min Verden

Suara hujan menyapa indra pendengaranku.

Udara dingin menyela diantara jendela kayu yang sedikit terbuka. Ini bagus, suara isakan tak mungkin terdengar hingga keluar kamar, kan? Suara detak jarum jam mengganggu ritme lagu yang kudengar. Huft, ini sungguh melelahkan.

Aku mencintai kehidupan yang ada dirimu di dalamnya. Setiap hari yang kunanti adalah suara tawamu walau dari jauh. Entah sejak kapan kau menjadi manusia yang ku favorit kan.

Cerpen – Min Verden by Adhina Tabryana

Membaca dongeng yang berisi sang putri dan pangeran dengan akhir ‘bahagia selamanya’ membuatku serakah. Dunia tak selamanya tentang putih dan hitam, salah atau benar. Ini lebih rumit dari dugaanku. Bahkan, dunia ini akan tetap berjalan walau tanpaku.

Cerita yang klasik ketika kau bertanya kado apa yang cocok untuk gadis pujaanmu padaku, atau sekedar bertanya bagaimana kesukaan para gadis seusia kita. Ucapanmu yang diselingi suara tawa membuatku tersenyum dan di benakku muncul pemahaman “Ah, aku tak punya kesempatan”. Lalu aku terbiasa diam hingga 3 tahun lamanya.

Orang bilang, masa SMA adalah masa yang menyenangkan. Sayang, aku menyesali ‘masa yang menyenangkan’ itu. Umurku lebih muda setahun dibanding teman kelasku. Karena itu pula diriku dipaksa untuk menjadi lebih cepat dewasa.

Teman temanku baik, meskipun aku tak terlalu akrab. Diriku pribadi hanya memiliki tiga orang teman yang sangat dekat. Rumah terlalu berisik, aku bersyukur memiliki rumah lain pada saat itu. Sialnya, aku menyesal.

Mengapa manusia selalu bergantung pada manusia lainnya? Seperti orang bodoh yang mencengkram tali lalu karena terlalu erat, tali itu melukai dirinya sendiri. Manusia yang bodoh ini memberikan segala yang ia punya pada orang lain. Hingga tak tersisa apa pun untuk dirinya.

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn