Rintik hujan membasahi bumi, di tengah sinar matahari yang mulai redup berganti malam. Diiringi kicau burung menyapa, aku bersandar di bawah sebatang pohon jati yang meneduhi. Sambil menutup mata ditemani sejuta mimpi, membayangkan indahnya hidup tanpa satu luka pun menggores hati.
Mungkin akan tercipta senyum yang terukir tanpa tapi. Namun, hadirnya luka tak dapat dipungkiri. Meski senyum selalu hadir setiap hari.
“Askara.”
Cerpen – Askara Nisha by Salma Mufidatun
Suara lembut itu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, dan mendapati ibuku yang sudah duduk di sampingku. Bahkan aku tidak menyadari kehadiran Ibu yang entah sejak kapan berada tepat di sisiku.
“Iya, Bu?”
“Ibu ingin kamu melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya, Nak.”
Aku terkesiap mendengar ucapan ibu. Singkat, tapi mengandung makna yang sangat dalam. Spontan, aku memeluk ibuku. Memberinya pelukan hangat untuk menenangkan pikiran beliau.
Aku tahu Ibu sedang dilanda cemas, dan aku maklum. Bagaimanapun juga, tidak mudah bagi seorang wanita yang sudah beranjak empat puluh tiga tahun itu untuk membesarkanku sendirian.
Ibu bekerja menjadi buruh tani di ladang milik orang dan juga menjadi seorang guru di salah satu sekolah pelosok. Dua puluh tahun sudah Ibu mengabdi di sekolah yang amat dicintainya itu.
Berbekal sepeda ontel kuno sebagai satu-satunya kendaraan, senyum Ibu terus merekah setiap akan berangkat mengajar. Padahal, jarak rumah menuju sekolah cukup jauh, tapi itu tidak membuat semangat mengajar Ibu jadi runtuh.
Dengan penghasilan yang sebenarnya kurang, Ibu mampu memenuhi kebutuhan kami dan tetap bersikeras menyekolahkanku, dengan segala situasi yang mungkin akan terjadi di kemudian hari.