Aku duduk di kursi taman sekolah sembari melihat seorang teman perempuanku yang masih asyik dengan bola basketnya di lapangan. Dia memantulkan bola lebih cepat dari sebelumnya.
Nisha, gadis berparas cantik dengan segudang prestasi yang berhasil ia peroleh. Kemarin saja ia memenangkan pertandingan basket tingkat nasional. Sebenarnya tidak hanya basket saja. Nisha juga mengikuti olimpiade. Bahkan dia mampu mempertahankan peringkat ke tiga seangkatan selama dua tahun berturut-turut.
Nisha melepaskan ikatan rambutnya, hingga rambut yang hitam legam itu kini tergerai indah.
Aku bergegas menghampirinya. “Nih, minum.” Sontak, Nisha menghentikan aktivitasnya ketika mendengar suaraku.
“Terima kasih. Sejak kapan lo di sini?” tanyanya. Kemudian menerima air pemberianku lantas meneguknya.
Artikel yang sesuai:
“Dari tadi,” jawabku sekenanya.
Aku mendengar suara dering handphone dari Nisha. “Tuh handphone kamu bunyi.”
“Oh, biarin aja. Palingan juga ayah gue yang marah-marah karena peringkat gue nggak naik,” jawab Nisha cuek.
Aku sedikit terkejut mendengar jawaban Nisha. Mungkin kalau peringkat terakhir aku bisa memaklumi. Namun, ini? Peringkat tiga paralel. Aku sampai tak habis pikir. Ya, memang kuakui di sekolah ini persaingan nilai sangat dijunjung tinggi.
“Bayangin aja. Gue sekolah pulang jam empat sore. Jam empat sore ada ekstrakulikuler basket. Nanti jam tujuh ada tambahan les matematika. Itupun sampai jam setengah sembilan. Belum lagi kalau nilai Bahasa Inggris gue turun. Bisa-bisa jam dua pagi gue baru boleh tidur.
Bahkan medali, trofi perlombaan, piala yang berjejer di rumah gue masih kurang buat ayah gue, Aska. Dan yang mengherankan semua itu cuma dipakai buat pamer ke teman-teman kerja ayah gue. Sebenarnya apa sih, yang diharapkan ayah dari gue? Gue muak buat tinggal di rumah gue sendiri. Makanya gue lampiasin itu ke basket.”