Cerpen – Langit Putih Jingga by Putri Esa Septia

Langit Putih Jingga

“Senja di Ciremai seindah itu, ya?”

Suara itu berhasil mengalihkan pandanganku yang semula menatap awan-awan menjadi sepenuhnya mendongak ke atas, menatapmu.

Cerpen – Langit Putih Jingga by Putri Esa Septia

“Indah banget. Tapi masih jauh lebih indah kalau sama kamu,” kataku sambil terus menatapmu.

Kamu hanya diam, sebelum akhirnya mengubah posisi menjadi duduk dengan kaki ditekukkan ke depan, tepat di sebelahku. Kemudian berkata, “Aku selalu sama kamu kok, Sa.”

“Tapi aku ngerasa kita jauh banget. Sampai kita yang duduk sedekat inipun masih terasa dingin buatku.”

Kamu menatapku, kubalas tatapan serupa hingga mata kita saling beradu. Kemudian bibirmu membentuk lengkungan bulan sabit. “Ehmm … bilang aja mau dirangkul, kan? Pake kode-kodean segala,” katamu sembari mengalungkan tangan ke bahuku.

Aku ingat, tepat setahun yang lalu kamu melamarku di puncak Gunung Ciremai. Ketika senja mulai muncul ke permukaan, dengan setangkai bunga mawar merah yang sudah layu.

Kamu berlutut, kemudian menyihirku dengan puisi romansa yang sebenarnya ku tahu liriknya kamu ambil dari internet. Tapi tak apa, rasa haru tetap kurasakan ketika kamu berkata ‘Will you marry me?’  Yang langsung kujawab ‘Yes, I will.’ Hingga tepatlah hari ini satu tahun pernikahan kita.

“Kamu ingat nggak Ram, waktu kamu lamar aku pakai bunga mawar layu?” tanyaku.

Kamu berusaha mengingat-ngingat, lalu berkata,”Ingat dong, Sa. Niatnya sih mau bikinin kejutan buat kamu ala-ala film romantis. Taunya pas bunganya aku keluarin dari tas udah layu gitu.”

“Ya wajar aja dong jadi layu begitu, bunganya sesak nafas tuh dua hari dalem tas,” ucapku sembari tertawa.

“Aku deg-degan banget tau, Sa,” katamu, “Takut kalau kamu nolak lamaranku gara-gara itu.”

Aku mengangguk setuju, “Aku juga sebenernya ragu sih waktu mau nerima kamu. Tapi ngeliat muka kamu yang pucet ngenes gitu jadi nggak tega hati nolak nya,” kataku, bercanda.

Tinggalkan Komentar