Nisha mengangguk pelan. “Untuk apa aku mempermasalahkan hal itu, Askara?”
Aku menarik napas dalam. “Jangan lapor ke paman kamu mengenai Bu Ina.”
Nisha menggeleng cepat. “Dan membiarkan lo terus-terusan dihina Bu Ina? Nggak! Gue nggak rela, Askara!”
“Kenapa kamu baik ke aku, Nisha? Bahkan setelah kamu mengetahui fakta bahwa ayahku adalah seorang narapidana. Sedangkan kamu adalah anak dari keluarga yang berada. Keluarga yang mempunyai segalanya.”
“Sekalipun aku mempunyai banyak uang, nyatanya kenyamanan tak dapat dibeli dengan uang, Askara.”
Artikel yang sesuai:
Ya, Nisha benar. Kenyamanan tak dapat digantikan oleh uang.
“Gue juga tahu sebenarnya lo sudah berhasil mencapai impian lo. Lo seorang pelukis. Galeri lukisan AM Wijaya itu punya lo, kan?”
Deg!
“Iya, benar. Ayahku ditangkap sebagai seorang narapidana tiga tahun silam. Aku sempat mengalami depresi setelah mengetahui fakta itu, Nisha. Dari sana, aku mencoba bangkit dengan melukis. Awalnya aku melukis hanya sebagai bentuk penyaluran emosiku. Hingga akhirnya, tanpa aku sadari melukis menjadi bagian dari hidupku. Dari mana kamu tahu bahwa aku pelukis, Nisha?”
Nisha tersenyum menatap lekat Askara. “Hampir semua gue tahu tentang lo, Askara. Lo hebat! Ayah dan ibu lo pasti bangga bisa membesarkan lo.”
“Terima kasih, Nisha. Aku sadar bahwa tiada yang sempurna di dunia ini. Termasuk kisah hidup kita. Karena yang menjadikan semua itu istimewa adalah bagaimana cara pandang kita terhadap semua yang telah terjadi.”
Penulis: Salma Mufidatun