Cerpen – Rasa dalam Senja by Fira Nabila Putri

“Langit sore ini cantik ya, Sur.” Ucap Riani kepada Surya yang kini duduk di sebelahnya. Sore ini mereka menatap matahari terbenam dari atas jok motor Surya. Motor matic itu diparkirkan di bahu jalan layang yang dipenuhi oleh penjual rujak dan tahu bulat. Sedangkan lalu-lalang kendaraan bermotor memenuhi badan jalan. “Sunset-nya bagus. Ya kan, Sur?” Riani mengulangi ucapannya dengan menambahkan keterangan tentang objek yang disorot sebagai sesuatu yang bagus. Namun disertai dengan maksud mendalam. “Aku perlu kejelasan, Riani.” Surya berusaha meluruskan tentang semua yang terasa semu. “Tentang kita?” Riani memastikan penjelasan apa yang ingin Surya dapatkan. “Iya, tentang kita mau dibawa jadi apa?” laki-laki berambut gondrong itu menyandarkan lengannya pada setang motor.  “Kita ya kita, Sur. Kita adalah Surya dan Riani yang temenan sejak kecil. Selalu barengan sampai dikira anak kembar.” Riani tertawa kecil mengingat pertemanan mereka yang sudah terjalin sejak keduanya masih duduk pada bangku sekolah dasar. “Yang lebih spesifik?” Surya mengharapkan jawaban yang lebih panjang dengan kejelasan menyertainya. Riani tak ingin menjawab. Ia tak ingin memberikan jawaban atas sesuatu yang memang terasa semu, namun tak harap berlalu. “Aku bisa terima kamu–” “Tunggu. Jangan diterusin.” Potong Surya yang mendadak mengalihkan pandangannya pada langit barat yang ada di depan mereka. “Aku gak akan pernah siap buat dengar ini. Tapi lebih baik dijelaskan sekarang.” Surya mengutarakan sedikit dari banyaknya perasaan yang dia pendam. “Aku bisa terima kamu sebagai teman baikku.” Ucap Riani dalam satu tarikan napas. Surya tertegun. Diam menunggu Riani menyelesaikan seluruh penjelasan yang dinantinya dalam 1 tahun belakangan ini. “Kamu ngerti, ‘kan. Masing-masing dari kita punya ekspektasinya sendiri untuk seseorang yang bakal dijadiin pasangan.” Keduanya berpadu dalam obrolan yang mulai masuk pada suatu topik serius. Ini bukan lagi tentang mengagumi mentari terbenam yang terbentang luas pada cakrawala barat saat ini. “Dan aku gak memenuhi ekspektasi itu?” tanya Surya sambil menatap lurus ke depan. Riani tak menjawab. Ia memutuskan diam dan membiarkan kakinya yang sejak tadi bergantung tetap pada posisi itu. “Aku gak pernah tergambar dalam ekspektasi kamu, ya? sekali pun gak pernah jadi yang kamu mau? bahkan kalau ini kali terakhir kita ketemu, aku tetap gak pernah jadi yang kamu cari?” Surya masuk dalam puncak emosi. Mengeluarkan sedikit rasa terpendam karena ini saat yang tepat untuk menyelesaikannya. “Maksudnya gak gitu, Sur.” Riani menghentikan Surya. Seakan melarangnya untuk terus mengutarakan kenyataan yang tak ingin Riani perjelas eksistensinya. “Aku paham, Riani. Aku yang terlalu berharap untuk hubungan kita. Aku terlalu berharap kita bisa jadi sesuatu yang lebih dari sekadar sahabat.” Surya tersenyum getir. Sama seperti sang surya yang sebentar lagi akan tenggelam di ufuk barat, senja hari ini juga memaksa perasaannya terbenam. “Sur…” Panggil Riani pelan. Dia takut ucapannya melukai hati pemuda itu lebih banyak. “Apa alasan kamu gak mau sama aku?” Surya bertanya tanpa mengindahkan panggilan dari Riani. Gadis itu bimbang. Jari tangannya bergerak gelisah, tak beraturan, tenggelam bersama bingung. Tak ingin berucap namun laki-laki berambut panjang ini mengharap jawaban rasional yang dapat diterima oleh otak dan hati. “Aku takut kehilangan kamu. Aku takut kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari hidupku. Kalau kita gak diciptain buat bersama, aku takut perpisahan kita jadi akhir dari segalanya.” Riani menjawab dengan tenang. Dia memberi jawaban atas sebuah kejujuran, berdasarkan perasaan yang sebenarnya. Surya terdiam, kemudian diikuti dengan senyum kecil. Manik matanya perlahan melirik Riani yang masih menatap lurus ke depan. Menyaksikan matahari yang terbenam dengan perlahan. Tampaknya Riani menyayanginya lebih dari kekasih. Ia disayangi lebih besar dari yang diharapkan. Sore ini Surya mendapat sebuah pengakuan yang mahal. Ia mendapatkan sesuatu yang lebih dari harapannya. Pengakuan berharga. “Biarin kita tetap jadi kita. Tetap jadi Surya dan Riani yang sering dikira anak kembar,” Surya tersenyum sambil mengusap rambut Riani hingga gadis itu menepis tangannya. “Kita makan ayam bakar aja, yuk?” ajak Surya setelah langit telah sepenuhnya gelap. Ajakan tersebut disambut dengan tawa oleh Riani. Keduanya mengubah posisi duduk dan melesat meninggalkan pinggir jalan layang yang malam ini diterangi oleh lampu jalan. Mereka berkendara menuju warung makan dengan gembira. Seolah tak terjadi apa-apa. Kembali menjadi sepasang sahabat seakan hal ini tak pernah terjadi.

“Langit sore ini cantik ya, Sur.” Ucap Riani kepada Surya yang kini duduk di sebelahnya.

Sore ini mereka menatap matahari terbenam dari atas jok motor Surya. Motor matic itu diparkirkan di bahu jalan layang yang dipenuhi oleh penjual rujak dan tahu bulat. Sedangkan lalu-lalang kendaraan bermotor memenuhi badan jalan.

Cerpen – Rasa dalam Senja by Fira Nabila Putri

Sunset-nya bagus. Ya kan, Sur?” Riani mengulangi ucapannya dengan menambahkan keterangan tentang objek yang disorot sebagai sesuatu yang bagus. Namun disertai dengan maksud mendalam.

“Aku perlu kejelasan, Riani.” Surya berusaha meluruskan tentang semua yang terasa semu.

“Tentang kita?” Riani memastikan penjelasan apa yang ingin Surya dapatkan.

“Iya, tentang kita mau dibawa jadi apa?” laki-laki berambut gondrong itu menyandarkan lengannya pada setang motor.

“Kita ya kita, Sur. Kita adalah Surya dan Riani yang temenan sejak kecil. Selalu barengan sampai dikira anak kembar.” Riani tertawa kecil mengingat pertemanan mereka yang sudah terjalin sejak keduanya masih duduk pada bangku sekolah dasar.

“Yang lebih spesifik?” Surya mengharapkan jawaban yang lebih panjang dengan kejelasan menyertainya.

Riani tak ingin menjawab. Ia tak ingin memberikan jawaban atas sesuatu yang memang terasa semu, namun tak harap berlalu.

“Aku bisa terima kamu–”

“Tunggu. Jangan diterusin.” Potong Surya yang mendadak mengalihkan pandangannya pada langit barat yang ada di depan mereka. “Aku gak akan pernah siap buat dengar ini. Tapi lebih baik dijelaskan sekarang.” Surya mengutarakan sedikit dari banyaknya perasaan yang dia pendam.

“Aku bisa terima kamu sebagai teman baikku.” Ucap Riani dalam satu tarikan napas.

Surya tertegun. Diam menunggu Riani menyelesaikan seluruh penjelasan yang dinantinya dalam 1 tahun belakangan ini.

“Kamu ngerti, ‘kan. Masing-masing dari kita punya ekspektasinya sendiri untuk seseorang yang bakal dijadiin pasangan.”

Keduanya berpadu dalam obrolan yang mulai masuk pada suatu topik serius. Ini bukan lagi tentang mengagumi mentari terbenam yang terbentang luas pada cakrawala barat saat ini.

“Dan aku gak memenuhi ekspektasi itu?” tanya Surya sambil menatap lurus ke depan.

Riani tak menjawab. Ia memutuskan diam dan membiarkan kakinya yang sejak tadi bergantung tetap pada posisi itu.

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn