Aila berdiri menatap sengit sang suami dengan bersedekap dada, “Seharusnya kamu yang bantu aku untuk memperbaiki semuanya, Mas! Bukannya malah memojokkan aku!”
Kirana mengepalkan kedua tangan. Hilang sudah moodnya untuk makan maupun bercerita pada hari ini.
Hadirnya selalu diacuhkan. Seakan ruang yang mereka tempati tidak ada seorang anak yang selalu kesepian, merindukan sebuah sentuhan dan sandaran hangat keluarga.
Aila meraup wajah kasar ketika tatapannya teralih pada Kirana yang menunduk dalam. Yuda mengacak rambut frustrasi dan memilih untuk berangkat ke kantor setelah mengecup pucuk kepala Kirana.
“Sayang, Mama mau ke kantor dulu. Nanti, Bik Surti yang nyiapin kamu makan.” Aila memeluk erat Kirana dengan rasa bersalah.
Kirana mendorong pelan Aila dengan mata merah padam. Hatinya sudah tidak kuat dengan semua yang dilalui.
“Kirana, anak Mama, bukan sih?” Kirana bertanya dengan bibir yang bergetar. Bahkan suara seraknya nyaris tidak terdengar.
“Sayang, kamu ini ada apa, hem?” tanya Aila bingung dan mulai duduk di sebelah Kirana. Memberikan seuntai senyum yang penuh ketulusan.
Aila meraih dua tangan Kirana yang dingin, “Coba kamu cerita sebentar.”
Kirana tertawa sumbang dengan menarik tangannya. Ia terasa enggan untuk bersentuhan langsung dengan Aila yang tidak ada waktu untuknya selama ini.
“Sebentar? Waktu, Mama selama bernapas berapa lama sih, Ma?” Kirana menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Bahunya bergetar. Sungguh ia sudah tak kuat untuk tidak meneteskan air mata.
Untuk kalian semua tetap lah kuat kalian adalah orang-orang hebat