Aila kaget, refleks ia menyentuh kedua bahu Kirana. Namun, Kirana telah mengusir tangannya dengan kasar.
“Kirana, seharusnya kamu paham dengan keadaan, Mama. Mama, kerja buat kebahagiaan kamu, Nak.”
Kirana menatap mata kelam Aila yang berkaca-kaca.
“Apa uang Papa, enggak cukup? Aku di sini, Mama anggap apa, sih? Aku enggak butuh materi yang aku butuhin itu kasih sayang Mama dan Papa.” Kirana membuang muka ke arah lain asal tidak menatap langsung wajah Aila yang menegang.
“Kirana, kamu berani ngomong gitu sama, Mama? Harusnya kamu bisa paham kondisi, Mama!”
“Apa yang harus aku pahami, Ma? Sementara, Mama enggak pernah pahami perasaan aku selama ini!”
Aila berdiri dengan meneteskan air mata. Tangannya bergerak lincah untuk mengambil uang ratusan dari dalam dompet goldnya. Uang itu ia berikan ke tangan Kirana.
“Ini! Mama, paham kamu butuh ini!”
Kirana membuang uang itu dengan berdiri menghadap Aila, “Materi, materi, materi! Kenapa harus itu yang ada di pikiran, Mama?”
“Kirana! Selama ini Mama dan Papa diam ‘aja ketika kami mendapat kabar kalau kamu sering keluar masuk ruang BK! Kamu pikir kami tidak malu dengan kelakuan kamu?” Aila menarik napas dalam dan menghembuskannya secara kasar.
“Jika tidak karena materi, sudah lama kamu dikeluarkan dari sekolah! Harusnya kamu bersyukur mempunyai orang tua yang tidak memarahi kamu ketika tengah berbuat kesalahan dan telah mencoreng nama baik keluarga kita!”
Kirana menggeleng tak menyangka. Ia mundur beberapa langkah. Kecewa dan rasa sakitnya menjadi-jadi.
“Aku begini karena Mama dan Papa! Aku pikir dengan aku berbuat nakal di sekolah bisa mengalihkan pikiran kalian untuk peduli sama aku. Tapi nyatanya enggak! Kalian egois, kalian jahat!” Kirana berlari ke luar dengan isakan pilu.
Untuk kalian semua tetap lah kuat kalian adalah orang-orang hebat