Cerpen – Impian Kaki by Hayah Nisrinaf

Cerpen - Impian Kaki

Ayah yang akan menentukan malam ini. Berdasarkan usaha didikan kepada ketiga anaknya.

“Apa impian kalian?” Seusai makan malam, ayah membuka percakapan di hadapan tiga anaknya. Sepertinya pertanyaan ini sudah waktunya diberikan. Terlebih setelah mendapatkan asupan makan malam, tiga anak ini seharusnya dapat berpikir lebih baik untuk menjawab pertanyaan dari ayah.

“Menjadi pelari.”

“Menjadi penari.”

“Kalau aku lebih ingin jadi balerina.”

Mereka satu persatu menjawab antusias. berurutan sesuai umur mereka. “Jika kalian tidak memiliki kaki?” Timpal ayah balik bertanya dengan nada dan muka teramat datar.

Ketiganya terdiam, Saling tatap Mata mengernyit heran. Pada akhirnya, semua tertunduk, malam purnama tetap saja tidak bisa memberi kecerahan. Apalagi bagi tiga anak bersaudara dengan umur masing-masing 10, 11, dan 12 tahun. Selisih umur yang tiap-tiapnya hanya satu tahun, membuat sang ayah yang sudah tidak memiliki istri merasa lebih mudah mendidik anak-anaknya. Bagi sang ayah, mendidiknya jadi sekalian sama ratakan saja.

Layaknya malam purnama ini. Si Umur 10, Si Umur 11, dan Si Umur 12 berkumpulkan di ruang tengah. Mereka langsung mendapat pertanyaan sang ayah. Santai saja mereka menjawab pertanyaan tersebut dengan apa yang memang terlintas di kepala masing-masing.

Namun, ketika datang pertanyaan kedua, sama sekali tidak terbayang akan kedatangan pertanyaan tersebut. Hebatnya, sama sekali tidak terbayang jawaban untuk pertanyaan kedua. Ketiganya bahkan masih bocil, belum mengalami pubertas. Arti “impian” sendiri bagi mereka mungkin juga belum jelas.

Cerpen – Impian Kaki by Hayah Nisrinaf

Mengapa sang ayah dengan kejamnya bertanya demikian? Bukan kejam sebenarnya. Ayah hanya mengajarkan probabilitas, skala prioritas, dan kerasnya kehidupan.

“Kembali ke kamar kalian. Besok pagi sudah harus mendapat jawaban.” Ucap ayah. Sesuai dengan perintah, mereka meninggalkan ruang tengah dan sang ayah masih duduk ruangan itu. Ketiganya berjalan dengan masih tertunduk lesu. Di samping itu, anak-anak yang sudah kehilangan ibu sejak Si Umur 10 berumur satu tahun, tidak memiliki tempat mengadu lagi.

Sang ayah memang terlalu keras dalam mendidik. Bagus saja sebenarnya, mereka jadi lebih paham dengan istilah, “kerasnya kehidupan”. Sesampainya di kamar, yang mana ketiganya memang satu kamar dan berbagi ranjang, mulailah percakapan diskusi untuk menjawab pertanyaan kedua di esok hari.

“Kak, aku belum mendapatkan jawaban.” Si Umur 10 bertanya kepada kedua kakaknya.

“Bahkan aku yang lebih tua dari kalian juga tidak ada bayangan jawaban sama sekali.” Si Umur 12 turut mengeluh.

“Aku ingin menjadi penulis seperti ayah.” Kakak dan adik dari anak tengah tersebut pun terhentak dan merasa mendapat inspirasi. Namun, masih ada yang mengganjal di benak keduanya.

“Memangnya ayah mau di jiplak oleh anaknya sendiri?” Si Umur 12 bertanya menyelidik. “Bukan menjiplak. Itu namanya melanjutkan perjuangan.” Ia tersenyum bangga dengan jawabannya sendiri. Kali ini Si Umur 11 cerdas.

“Baiklah, menjadi penulis.” Kompak sekali Si Umur 10 dan Si Umur 12 menyebutkan impian masing-masing untuk menjawab pertanyaan kedua di esok hari.

Sebelum tidur, ketiganya juga merapalkan impian tersebut supaya sampai besok masih mengingatnya.

Keesokan harinya, ketika sinar matahari mengintip dari celah-celah jendela kamar. Biasanya sinar tersebut akan menghangatkan tiga pasang kaki yang terbujur. Sebelum akhirnya terbangun dan memalingkan kaki dari sorotan sinar matahari yang masuk dari intipan jendela karena kepanasan.

Hanya saja kali ini ketiganya tidak merasakan hal tersebut. Sinar matahari langsung menembus kasur ranjang mereka. Sedangkan yang tidak biasa juga, sang ayah sudah menunggu kebangunan anak-anaknya dari pintu masuk kamar mereka.

“Sudah mendapat jawaban kan?” Tanya sang ayah yang semalam telah membius anak-anaknya dan dengan mulus berhasil membuntung tiga pasang kaki tersebut. Kaki mereka kini hanya dari paha sampai lutut. Selebihnya telah diambil ayah dan tidak bisa digunakan berlari atau menari.

Titik kehilangan memang ada. Akan tetapi, mereka anak-anak ayah yang tidak pernah diajarkan untuk menangis. Mereka selalu diajarkan untuk menerima setiap keadaan. Toh, meskipun kehilangan mereka sudah merencanakan opsi lain untuk impian mereka.

“Menjadi penulis, Yah.” Ketiganya sebagai pemilik kaki buntung menjawab kompak.

“Terima kasih kalian telah melanjutkan perjuangan ayah. Ayah adalah pemain bola yang gagal. Tidak pernah mencetak gol. Pernah ikut lomba lari tidak pernah lolos.” Ucap Ayah

Kemudian ayah menuliskan seluruh kisah tersebut dan berhasil. Maka untuk hari ini, kalian berdiam saja dulu di kamar dan mulai menulis. Tulis saja impian kalian yang pernah ingin menjadi pelari, penari, atau balerina. Semoga kalian sadar bahwa urusan kaki tidak begitu penting.

Ditulis oleh :@hayahnisrinaf

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *