“Pucat sekali bibir kamu sayang,” lirih Aila.
Bunyi telepon membuat lamunan Aila buyar. Aila pun segera mengangkat telepon dengan gerakan lemah.
“Ma, bagaimana keadaan, Kirana?” tanya Yuda di seberang sana.
“Kirana …, Kirana, Mas.” Aila menekan dadanya yang terasa sakit. Ia tak sanggup ketika harus mengatakan anaknya sendiri telah terkulai.
“Kirana, kenapa, Ma?”
Aila terdiam mematung, matanya lurus pada mata Kirana yang terpejam dengan tenang.
“Kamu ini tidak jelas! Aku di sini masih banyak pekerjaan. Buang-buang waktu saja! Aku yakin, Kirana baik-baik saja.” Yuda memutuskan telepon secara sepihak.
Aila tersenyum getir. Tak peduli akan tingkah sang suami. Ia memilih untuk menemani Kirana sampai bangun.
“Kirana, ini Mama sayang. Mama, janji enggak akan kerja lagi. Mama, enggak akan priotasin materi lagi yang akan Mama utamakan itu sekarang senyum kamu, Nak.” Aila mencium punggung tangan Kirana bertubi-tubi.
“Sadar, Nak. Lihat wajah cantik kamu banyak lukanya. Kamu harus bangun agar luka kamu hilang dan kamu bisa kembali mempercantik diri. Nanti, Mama temanin deh ke salonnya. Tiap hari juga Mama, mau.” Aila menunduk dengan bahu bergetar. Sudah tiga jam sang anak tak kunjung sadar.
Aila termenung. Kutipan demi kutipan beberapa waktu lalu terlintas di ingatannya. Di masa seorang Kirana yang mengeluh meminta dirinya untuk hadir di acara rapat orang tua di sekolah, di mana seorang Kirana yang merajuk karena tidak ditemani ketika sarapan pagi.
Untuk kalian semua tetap lah kuat kalian adalah orang-orang hebat