Aku hanya mengangguk sebagai jawabannya. Padahal aku belum membicarakan apapun soal kuliah.
Di dalam kamar ditemani sebuah novel, aku duduk termenung. Keinginan untuk kuliah masih sangat menggebu-gebu. Namun, aku sadar itu tidak akan terwujud.
Ekonomi keluargaku tidak akan mampu. Hanya kakakku harapan orang tuaku satu-satunya. Dia adalah orang yang mereka sayangi.
Aku dan adikku selalu diabaikan, meminta ini dan itu saja kakakku yang paling dituruti kemauannya. Padahal apa yang kita minta kadang lebih penting daripada apa yang kakakku inginkan.
‘’Huh, belum saatnya mengeluh. Aku harus cari pekerjaan biar bisa membeli hal-hal yang aku sukai seperti novel dan memberi sedikit uang bekal buat adikku,’’ gumamku dengan pelan berusaha tetap optimis.
Artikel yang sesuai:
Dua bulan berlalu, kini keseharianku lebih banyak melakukan aktivitas di rumah saja. Kadang iri melihat teman-teman yang mulai sibuk dengan kuliahnya.
Ibu selalu menuntutku harus segera bekerja. Begitu juga ayahku yang selalu saja berkata, ‘’Cari pekerjaan apa sajalah, jangan gengsi! Kamu sudah besar tidak seharusnya minta uang ke Ayah lagi.’’
Bukan tidak mau bekerja. Ayah dan ibu tidak tahu saja. Aku sudah banyak mengirim lamaran. Ayah dan ibu tidak tahu setiap hari aku keluar rumah untuk mencari pekerjaan. Mereka malah selalu mengira aku keluar untuk menghambur-hamburkan uang.
Padahal semenjak aku lulus, aku tidak pernah meminta uang. Aku memakai uang tabungan yang aku tabung dari SD. Tapi, kalau uang tabungan itu habis tentu akan menjadi masalah. Apa aku berani meminta kepada Ayah?
Syukurnya tepat hari ini, di awal bulan aku diterima bekerja di sebuah toko kosmetik.
Aku pulang dengan hati senang ingin segera memberi tahu Ayah dan Ibu. Besok merupakan hari pertamaku bekerja.Bagaimana ya, rasanya? Tiba-tiba aku jadi sangat antusias.