Aku berguling mendekatinya. Niatku hendak menyapanya, barangkali ia mau membantu melepaskan tali yang melilit kafanku, tapi aku justru melihat sesuatu yang tak terduga. Bocah yang kira-kira usianya sepuluh tahun itu mengulum senyum lebar, memamerkan deretan giginya yang kuning seperti tidak pernah digosok berminggu-minggu.
Mulutnya robek sampai telinga. Aku tersentak. Spontan menjauh dengan cara berguling. Dalam diam aku berusaha menyangkal. Tidak mungkin. Aku pasti salah lihat. Lagi-lagi tubuhku menyentuh kaki Ajun.
Cerpen – Setelah Mati Suri by Alfina Fera Agustin
“Gue udah bilang, jangan deket-deket gue, permen Sugus!”
Setelah mengatakan itu, Ajun kembali berteriak. Kuabaikan teriakannya karena sekarang fokusku tertuju pada hal lain. Dua temanku tampak tidak menyadari kehadiran bocah itu. Atau justru memang mereka tidak melihatnya? Kalau begitu, artinya penglihatanku bermasalah. Singkatnya, aku salah lihat. Syukurlah, aku jadi lega.
Kali ini, Ajun tidak menendangku. Mungkin kakinya pegal.
Artikel yang sesuai:
Begitu aku menoleh, bocah tadi sudah tidak ada. Itu membuatku yakin kalau aku hanya salah lihat. Sepertinya mati suri membuatku kelelahan dan berhalusinasi.
Samar kulihat kakek dan nenek membuka mata secara bersamaan. Nenek menghampiriku. Ia segera melepaskan tali yang melilit di bagian kaki dan tanganku tanpa kuminta, lalu memelukku erat. Tangisnya pecah seketika.
“Dipta cucuku sayang! Ternyata kamu masih hidup ….” Nenek terisak. Beberapa helai rambut putihnya yang tersapu angin sesekali masuk ke mulutku. Aku sampai kesal sendiri menyingkirkannya. Nenek tidak ada tanda-tanda akan melepaskan pelukannya, sekarang kakek ikut-ikutan mendekapku.
Hei! Kalau kalian memelukku terlalu erat begini, yang ada aku mati dua kali.
“Dipta … itu beneran Lo, bukan arwah gentayangan?” Ajun menatapku takut-takut. Menjulurkan kepalanya. Abim juga memicingkan mata. Tampak tidak yakin.