Mereka langsung lari tunggang langgang. Kalau tidak salah lihat, kakek dan nenek yang berada beberapa meter dariku pun jatuh pingsan dengan kepala yang saling menyender.
Namun, aku terbelalak lebar kala menyadari tubuhku terbungkus kain kafan. Kapas yang menyumpal lubang hidungku juga terjatuh, mungkin tadi saat aku bangun. Apa ini penyebab mereka ketakutan setengah mati?
Cerpen – Setelah Mati Suri by Alfina Fera Agustin
Aku mencoba mendekati Ajun dan Abim. Aku ingin mereka melepaskan tali yang mengikat kaki dan tanganku. Akan tetapi, aku tidak dapat bergerak leluasa. Aku hanya mampu ngesot seperti ulat bulu.
“Maafin gue, Dip! Gue tau Lo dendam sama gue karena kita sempat bertengkar sebelum kecelakaan. Tapi, please, jangan ganggu gue, Dip. Gue ngaku salah! Maafin gue, ya?” Ajun memohon, menyatukan kedua tangannya.
Abim ikut menganggukan kepala dengan alis saling bertautan, seolah tengah meminta persetujuanku. Aku tentu saja bingung mendengar ucapan Ajun. Bertengkar? Kenapa kami bertengkar?
Artikel yang sesuai:
Bukankah selama ini kami berteman dengan baik? Lalu, mengenai kecelakaan, apa itu penyebab aku meninggal? Sungguh, aku tidak ingat apa-apa.
“Jun! Tolong lepasin talinya. Aku nggak bisa gerak. Kacamataku dimana? Aku butuh kacamata,” ucapku. Akhirnya, aku bisa mengeluarkan suaraku juga. Namun, Ajun malah menggeleng brutal mendengarku bicara.
“Ya Gusti! Dipta bisa ngomong, Bim! Please, Jangan panggil-panggil gue!” Ajun bersembunyi di belakang punggung Abim. Padahal tubuh laki-laki bermata sipit itu lebih kecil darinya. Semakin aku maju, mereka berdua semakin mundur.
“Ajun, Abim! Aku masih hidup,” seruku. Aku harap mereka mengerti.
“Gue mohon! Jangan panggil gue, Dip. Maafin gue.” Ajun mulai menangis.