Cerpen – Setelah Mati Suri by Alfina Fera Agustin

Cerpen Setelah Mati Suri

“Gue janji bakal pensiun jadi playboy asal Lo jangan gentayangan kayak gini. Please!

Ini pertama kalinya aku melihat Ajun menangis. Lelaki itu biasanya kuat dan tangguh. Kalau boleh jujur, suara dan wajahnya terlihat jelek kalau menangis begini.

Cerpen – Setelah Mati Suri by Alfina Fera Agustin

“Aku nggak gentayangan, Jun! Aku emang masih hidup,” jelasku.

Sial, kenapa dia tidak mengerti juga?

“Nggak mungkin!” Ajun dengan tegas membantah.

“Orang yang udah mati nggak bisa hidup lagi. Ya nggak, Bim?” Ajun menoleh ke Abim. Ekspresi dia lebih kacau dari Ajun. Mulutnya menganga, tergagap. Kesulitan bicara. Kasihan sekali.

“Yaelah, Bim. Jawab, kek! Jangan diem aja. Berasa ngobrol sama patung yang nggak bisa ngom–oh, iya. Lo kan emang bisu, ya?”

Tepat setelah Ajun mengatakan itu, angin berhembus kencang menerbangkan gorden yang menutupi jendela. Bahkan pintu yang semula terbuka kini tertutup karena tiupan angin. Menjelang sore begini angin memang biasa berhembus. Akan tetapi, Ajun dan Abim sepertinya berpikir hal lain. Keduanya terlonjak kaget. Mereka tidak lagi berangkulan, melainkan berpelukan. Menggigil ketakutan.

Detik berikutnya, lampu tiba-tiba mati bersamaan dengan bunyi guntur di luar sana. Aku yang sedang mengesot sampai oleng ke samping dan berakhir menyentuh lantai saking terkejutnya. Gemuruh guntur tadi juga menggetarkan kaca jendela.

Aku menegakkan punggung kembali, tapi itu tidak mudah. Berapa kali pun aku mencoba, aku tetap tidak bisa. Pada akhirnya, aku memilih menggulingkan badan.

“Woaa! Pocongnya menggelundung!” Ajun berteriak histeris.

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn