“Hasbi,” teriak seseorang yang berada tidak jauh dariku.
Aku yang penasaran pun turut menoleh. Aku dapat melihat seseorang yang berteriak memanggil tadi berjalan menemui seseorang yang baru saja hendak masuk ke dalam masjid, tapi karena dipanggil ia pun menghentikan langkahnya.
“Kamu yang adzan ya, mendadak aku sakit perut,” ucapnya sembari memegangi perutnya.
“Oh iya Mas, nggak papa.” jawabnya santai.
Aku seperti merasa de javu dengan suaranya.
Perlahan lelaki itu masuk ke dalam masjid dan tidak lama suara adzan terdengar. Dan yaaa… Otakku langsung terlempar pada kejadian berhari-hari yang lalu. Aku langsung mengingat kejadian aku bertabrakkan dengan seseorang di lorong gedung rektorat kala itu.
Sore itu aku melihat wajahnya dengan begitu jelas. Senyum tipis membingkai indah di wajahnya, sangat teduh dan menenangkan. Jika hari-hari lalu aku hanya tertawan dengan suaranya maka bisa kukatakan wajahnya tak kalah indah untuk dipandang.
Setidaknya itulah kenangan indah yang aku alami empat tahun yang lalu. Kenangan yang sangat membekas dan sulit hilang hingga saat ini.
Jika aku mengatakan bahwa aku lebih dulu mencintai suaranya, apakah ucapanku terdengar aneh? Aku tahu akan banyak sekali pertanyaan, mengapa aku yang sulit untuk jatuh cinta tiba-tiba saja mengagumi sosok asing yang wujudnya saja belum aku ketahui waktu itu. Entah mengapa suara tegas itu terdengar sangat menetramkan di telingaku.
Aku tahu aku salah. Tak seharusnya rasa ini tumbuh sebelum aku benar-benar siap untuk melangkah ke arah menikah. Untuk itulah aku memilih untuk menyimpannya sendirian. Tak ada yang aku izinkan untuk mengetahuinya, termasuk dia.
Hari ini aku melihatnya. Tampil rapi dengan setelan jas dan sepatu hitam mengkilat yang tampak sangat pas di kakinya. Kini dia tersenyum tipis ke arahku. Maksudku bukan untukku, tapi untuk seseorang yang saat ini ada di sebelahku. Dia sedang tersenyum pada temanku yang ternyata juga temannya.
