Aku kembali ke taman ini.
Untuk sekali lagi mengenang, sebelum kulupakan segala tentangmu. Masih seperti kemarin, dan juga hari-hari sebelumnya. Taman ini masih tetap saja tak dapat memanjakan sepasang mataku. Begitu banyak fasilitasnya yang tak berfungsi dengan baik.
Jam dinding yang menempel di tugu simbol kota sudah tidak lagi menunjukan waktu dengan benar. Tenaganya sudah terlalu lemah untuk memutar jarum-jarumnya yang tua.
Sarana bermain anak-anak yang telah dibalut karat. Batang ilalang yang selalu genit menciumi lutut kita. Dinding yang beralih fungsi menjadi semacam papan tulis. Bahkan kata-kata yang tertera begitu kotor dan tak pantas.
Cerpen – Sebuah Kisah Untuk Dilupakan by Latatu Nandemar
Kau, yang sekarang telah pergi, sering kali menyandarkan bahumu pada bahuku di taman ini. Kau katakan kau mencintaiku, apakah kau pun merasakan hal yang sama?
Artikel yang sesuai:
Kau melanjutkan pernyataan dengan sebuah pertanyaan. Selalu seperti itu. Entah untuk yang keberapa kali. Berulang kali kau nyatakan hal sama. Berulang kali pula kau tanyakan hal yang sama.
Tanyamu tak berubah. Begitu pula dengan jawabku. Seringkali kau tanyakan alasan akan penolakanku. Seolah masih tak percaya bahwa cintamu tak mendapat sambutku.
Namun, aku tak pernah bisa menjawabnya. Kau menangis dan bertanya, jika memang tak mencintaiku, mengapa dekapmu begitu hangat dan mendamaikan? Aku menjawab, mungkin karena hatimu telah terlalu dipenuhi harap akanku.
Pohon beringin yang berdiri di sudut utara itu begitu rindang. Di tengah siraman matahari kota yang jaraknya semakin dekat dengan kepala kita. Sangat berguna untuk mendinginkan ubun-ubun yang membara setelah seharian menopang matahari yang garang.