
Ada rasa tenang ketika melihat ekspresinya yang ramah. Suara jeritan dan gemuruh mengucap nama Sandekala mengejutkanku. Aku yang mengira hanya berdua, terkejut saat aku mengetahui jika di bawah sana ribuan manusia sedang bersorak gembira.
“Nyanyian gemuruh, menyambut putri dahayu.” Raksasa itu bersuara.
Cerpen – Tersesat pada Perjalanan Sendiri by Eva Zulfa Fauziah
Aku merasakan kehidupan yang berbeda. Tidak ada kesedihan, tuntutan, dan kemunafikan di sini. Namun, orang-orang aneh dan sugesti udara yang baru ditemui membuatku jengah. Tubuhku terekspansi dari egoisnya dingin dan gersang.
Saat ini aku berada di antara puluhan ribu manusia yang bersorak menyebut “Ratu Sandekala, Ratu Buana”. Kalimat-kalimat itu terus berulang sampai aku tiba di pendopo istana. Raksasa tadi menemaniku untuk menaiki tangga.
Anehnya, aku tidak merasa takut saat dia mendampingiku berjalan. Padahal, rupa dia cukup pantas untuk membuat semua orang takut. “Kau akan dinobatkan sebagai Ratu. Jadilah sebagai ratu, untuk raja yang telah kau lahirkan,” serunya.
Artikel yang sesuai:
Otakku merespon bingung. ‘Aku seorang manusia, mana mungkin bersanding dengan raksasa buruk rupa.’ Pikiranku seketika negatif. Tak lama kemudian, sebuah kalung bunga mendekatiku. Seketika kakiku bergerak mundur, semua menatapku tanpa jeda.
“Aku bukan siapa yang kalian maksud. Aku bukan ratu dunia dan aku tidak melahirkan seorang raja!” Seruku pelan tetapi kuat penekanan.
Omonganku itu menjatuhkan guci yang super besar. Raksasa marah, ia mengambil paksa kalung bunga itu, lalu berusaha mengalungkannya kepadaku. Aku berancang-ancang untuk kabur, tetapi tangan dan kakiku ditahan oleh para pengikutnya.
Aku meronta, tak ada lagi yang kuinginkan kecuali keluar dari dunia yang sebelumnya terlihat ramah. Raksasa itu semakin dekat, tangannya sudah berada di atas kepalaku. Lalu, tubuhku hilang kendali, pandanganku gelap, telingaku ramai mendengar doa-doa yang asing. Jiwaku memanas saat tangan raksasa tepat berada di samping pipiku.






