Cerpen – Biarlah Hujan Jatuh by Eva Zulfa Fauziah

Cerpen Biarlah Hujan Jatuh
Biarlah hujan jatuh, mengembangkan naskah cerita agar terlihat lebih menawan.

Sungai meluap. Ikan-ikan hanyut bersama air yang tumpah ruah dari tempat penampungan. Sawah-sawah tak lagi utuh, benteng pertahanannya telah luruh diterpa hujan yang semalam bergemuruh. Juga ladang-ladang, yang menjadi satu-satunya sumber penghidupan janda anak dua, telah tergusur rata.

Cerpen – Biarlah Hujan Jatuh by Eva Zulfa Fauziah

Bibir Lail mengerut, menahan luka atas kepergian tanaman kesayangannya. Matanya juga bergelimang air mata. Kekecewaan membuat seisi dadanya tak memiliki ruang. Penantian panjang akan cabai-cabai siap terjual, meranggas dicuri angin pagi.

“Hujan satu malam, membuat kita sengsara satu bulan.” Perempuan paruh baya memperkeruh suasana.

“Kemalangan tidak serta merta menghampiri, pasti ada yang ingin Tuhan sampaikan pada kita,” lelaki tua menyela.

“Apa? Padi yang tergeletak tak berdaya? Ikan-ikan yang bepergian tanpa pamit kepada kita? Atau Tuhan ingin menyampaikan, jika tangkai cabai itu sudah kelelahan menahan buahnya?” Muka ketus perempuan paruh baya semakin tampak jelas.

Lail menghela napas panjang, bahkan ketika sedang ditimpa bencana pun, perempuan itu masih menyinyiri cabai yang berbuah lebat miliknya.

Tubuh Lail memutar, mengambil perkakas untuk mulai memperbaiki kekacauan. Tidak tersisa satupun di antara seratus jajar pohon cabai yang ia tanam. Semuanya tumbang dan tak menyisakan sepeser pun keuntungan.

Semua orang berdecak kesal. Tidak ada pekerjaan lain selain membual. Akan tetapi, Lail masih membersihkan cabai yang bersisa tangkai. Orang-orang melihat Lail diam dan sabar menerima bencana itu.

Tanpa mereka ketahui, jika isi kepala Lail sedang berputar pada, ‘Bagaimana biaya praktik untuk si kakak dan biaya study tour untuk si adik?’ Kalimat tersebut terus mendayu, membuatnya tak fokus dalam bekerja.

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn