Cerpen – Mamak dan Semerbak Aroma Bunga Sedap Malam by Andini

Cerpen - Mamak dan Semerbak Aroma Bunga Sedap Malam by Andini

Malam itu, Syam kecil sedang mengerjakan tugas rumah ditemani oleh Mamak.

“Mak, apa Bapak tidak akan pulang?” tanyanya. Mamak hanya tersenyum dan menjawab, “Bapak masih kerja, nanti pasti pulang.”

Mendengar jawaban tersebut, Syam merasa gelisah. Tidak, ia justru tidak ingin bapak pulang.

Brak!

Terdengar suara pintu yang dibuka dengan keras. Keduanya terlonjak kaget. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah mereka disertai dengan bau alkohol yang menyengat. Benar saja, Bapak memang pulang, tetapi bukan sehabis bekerja, melainkan berjudi dan mabuk seharian. Tubuh Syam gemetar dalam pelukan Mamak. Dan sebelum Bapak mengamuk, Mamak segera menyuruh Syam untuk bersembunyi di kamar.

Sama seperti biasanya, yang terdengar dari mulut Bapak hanyalah kata-kata kasar dan makian. Mulanya, Bapak ‘hanya’ meneriaki Mamak. Namun, kini Bapak juga mulai memukuli dan menampar istrinya itu.

Kemudian, di pagi harinya Syam akan mendapati wajah Mamak dalam keadaan sembab. Belakangan, Mamak juga mengenakan pakaian panjang di dalam rumah, untuk menutupi lebam-lebam di tubuh ringkihnya. Syam tidak tahan melihat Mamak seperti ini. Tetapi ia juga tidak bisa melakukan apa-apa.

Tiga tahun kemudian, semuanya masih sama. Bapak masih sering mabuk-mabukkan dan menyiksa Mamak. Suatu hari, Syam pernah bertanya mengapa Mamak tidak melawan atau bercerai dengan lelaki bejat seperti Bapak. Mamak hanya tersenyum tipis dan tidak menjawabnya. Dilihat dari tampilan luar, Mamak memang rapuh. Tetapi hatinya seteguh batu karang. Tekadnya untuk mempertahankan rumah tangga yang sudah berantakan ini sangat kuat.

Kabar baiknya, beberapa hari terakhir Bapak tidak pernah pulang ke rumah, dan Syam merasa sangat lega. Luka di hati dan tubuh Mamak lambat laun pasti akan sembuh jika Bapak pergi. Ia berpikir semuanya akan membaik sekarang. Namun, Tuhan berkehendak lain. Malam itu, tepat jam dua belas, Mamak membangunkan dan mengajaknya ke pekarangan rumah. Dengan langkah berat, Syam menuruti perintah Mamak.

“Syam, langit malam ini indah sekali, ya? Coba lihat! Rasi bintang yang di sebelah sana,” seru Mamak sambil menunjuk rasi bintang yang dimaksud. Syam hanya mengangguk sambil sesekali menguap. Ia berdecak dalam hati, ‘Mamak membangunkanku hanya untuk melihat bintang?’

“Syam … apa kau mencium sesuatu?” tanya Mamak memecah keheningan. Syam menajamkan indera penciumannya dan benar saja, terdapat semerbak aroma yang khas. Seketika bulu kuduknya jadi berdiri.

“Hahaha ….” Tawa Mamak mengisi kesunyian malam itu. Syam semakin bingung, tapi hei! Setelah bertahun-tahun, baru kali ini ia melihat Mamak tertawa lepas lagi. “Itu aroma bunga sedap malam yang ada di hadapanmu, Syam,” jelas Mamak. Mulut Syam membentuk huruf ‘o’, pertanda mengerti. Tiba-tiba, Mamak memegang kedua tangan anaknya dengan erat.

“Syam, ingat ini baik-baik,” perintah Mamak. Ia pun mengangguk. “Apapun yang terjadi kedepannya, Mamak ingin kau tetap kuat dan jadi anak yang baik. Mamak minta maaf karena kamu harus ikut menderita selama bertahun-tahun ini. Selera Mamak soal pria memang buruk, tapi aku yakin kamu berbeda, Syam. Kamu tidak akan menjadi seperti Bapakmu,” ucap Mamak dengan mata berkaca-kaca, lalu menarik Syam ke dalam pelukannya. Ia balas memeluk sang ibu dengan erat.

“Mamak menyayangimu, Syam,” kata Mamak di sela isak tangisnya. Syam mengangguk dan mengatakan hal yang sama. Tidak lama kemudian, isakan Mamak terhenti, tetapi tubuhnya ambruk dalam pelukan sang anak. Perlu beberapa saat hingga bocah abg itu mengerti apa yang baru saja terjadi.

Lalu, ia menangis dengan sejadi-jadinya. Malam itu, bersamaan dengan bunga sedap malam yang menguarkan aroma semerbaknya, Mamak pergi menuju keabadian. Mungkin, Tuhan tidak ingin melihat Mamak menangis lagi.

Penulis: Andini Mayangpuri

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn