Malam yang tenang nan dingin menemani waktuku membaca buku sambil menyeruput teh panas.
Ku lihat setangkai mawar di dalam vas, lalu teringat kenangan bersamamu. Kala itu, kamu melantunkan syair lagu di tempat ini. Aku terlena, sampai tak sadar kamu sudah berlutut sembari memberikan setangkai mawar merah.
Cerpen – Setangkai Mawar by Ambarwati Friska Panigoro
Kuterima hadiahmu. Kita bercanda-tawa setiap saat. Namun, suatu hari, engkau menghilang tanpa kabar. Kesana-kemari aku mencari, tetapi engkau tidak ada. Akhirnya, ku putuskan menerima keadaan.
Hanya setangkai mawar ini yang terus mengingatkanku padamu. Setiap ke tempat kita pertama kali bertemu, aku selalu teringat padamu sambil bertanya-tanya sedang apa dirimu sekarang? Bagaimana kabarmu? Wajahmu masih teringat jelas di ingatanku.
Aku kembali menyeruput teh. Namun, karena tidak hati-hati lidahku rasanya terbakar. Untuk menghilangkan rasa terbakar itu, aku mengambil kue yang baru saja sampai. Lagi-lagi aku termenung. Rintik hujan membasahi jendela bagian luar.
“Sekarang, aku tidak bisa pulang.” Aku berdecak kesal karena lupa membawa payung.
Kusandarkan tubuh sambil menutup mata. Lagi-lagi sosokmu muncul. Lalu kubuka mata. Sambil memperbaiki posisi duduk, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sepi.
“Seperti biasanya, kafe ini sepi. Tapi ini terlalu sunyi. Apa karena sedang hujan?” tanyaku lirih sambil melirik kearah jendela.
Bosan. Hanya kata itu terlintas dalam pikiran. Aku tidak tahu harus melakukan apa saat seperti ini. Orkestra yang dimainkan terdengar membosankan. Aku merindukan lantunan syair indahmu.
“Pergi kemana kau selama ini?” gumamku sambil menundukkan kepala. Rasanya mengantuk.
Suasana kafe yang sepi, hujan turun dengan deras, dan rasanya kepalaku sakit. Kuputuskan tidur sebentar dan menjadikan tas kecilku sebagai bantal.