
Tak lama kemudian, sekitar dua ratus meter Sobari melihat titik-titik cahaya warna-warni. Ia memaksa kakinya untuk terus berlari. Kondisinya yang belum sepenuhnya pulih membuat nyeri kembali merambati betisnya, tapi itu tidak membuatnya berhenti barang sejenak. Ia menggigit bibir, menahan sakit luar biasa. Ia semakin dekat dengan titik-titik cahaya. Peluh membanjiri punggung dan dahi. Sobari nyaris menitikkan air mata melihat harapan ada di depan hidungnya.
Kaki yang ia paksa berlari mulai mati rasa, ia merasa tubuhnya tidak menginjak tanah. Sobari memutuskan berteriak, meminta tolong. Jarak lima puluh meter harapannya pupus begitu mengetahui dari mana asal cahaya berwarna-warni itu. Lebih dari sepuluh personil polisi sedang berpatroli di jalan tersebut. Mereka mendengar teriakan Sobari, tiga orang berseragam segera berlari menghampiri. Tubuh Sobari ambruk, kakinya sudah tidak sanggup lagi bertahan.
Butuh sepekan untuk masa pemulihan Sobari. Setelah pulih dia tahu takdir apa yang sudah menunggunya. Begitu mengetahui identitas Sobari, polisi langsung tahu bahwa dia adalah salah satu buronannya. Diibaratkan, ikan itu sendiri yang menghampiri umpannya, ditambah ikan itu tidak ingin tertangkap sendirian. Dia memberitahu keberadaan ikan lain yang lebih gemuk. Bahkan ikan gemuk itu sudah berhasil ditangkap sebelum kondisi Sobari benar-benar pulih.
Baginya dipenjara memang bukan takdir yang baik, tapi setidaknya itu lebih baik daripada menjadi korban mutilasi dan seseorang mendapat keuntungan dari organ tubuhnya. Ibu Sarina pemilik kontrakan, ternyata adalah buronan polisi sejak lama. Dia salah satu pelaku bisnis gelap penjualan organ tubuh manusia dengan mafia dari luar negeri.*
Penulis: Siti Khotimatun Hasanah




