“Bangun, Pemalas!” Suara itu menyentak alam bawah sadar Sobari. Kedua matanya melek sempurna, ia tidak terkejut melihat dua orang yang berdiri sedang memelotot padanya. Dua orang itu adalah orang yang sama dengan orang yang tadi malam.
Samar-samar Sobari mengendus aroma yang tidak sedap, antara bau busuk dan anyir. Dia berusaha bangkit, namun tertahan karena mendadak rasa nyeri menyerang dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia mendesis menahan sakit. Dua orang di hadapannya menyeringai. Merekalah pelaku yang sukses membuat Sobari babak belur.
“Mau kabur ke mana, hah? Di luar sana kau sedang jadi buronan para aparat. Beruntung kau aman di sini,” kata orang yang bertubuh kekar dan bertato, wajahnya tidak ramah. Temannya melempar bungkusan pada Sobari. Lalu keduanya pergi, menutup pintu keras-keras. Dari dalam Sobari bisa mendengar kalau pintu digerendel menggunakan rantai besi dan gembok.
Cerpen – Buronan yang Menyerahkan Diri by Siti Khotimatun Hasanah
Sobari mendengus, antara kesal dan berusaha menghalau bau yang mengganggu hidungnya. Sepenuh hati ia lebih memilih jadi buronan polisi daripada ditahan di ruangan sempit nan bau. Ruangan tempatnya dikurung tidak berjendela. Dari cahaya matahari yang masuk melalui kisi-kisi pintu, Sobari tahu kalau saat ini hari sudah beranjak siang. Dengan posisi rebah di pojokan, Sobari memperhatikan sekeliling. Di salah satu sudut terdapat dipan dan meja.
Di atas meja-meja itu ada kontainer yang entah apa isinya. Pandangan Sobari kini jatuh ke bawah dipan dan meja, samar-samar dia melihat onggokan tulang belulang berserakan. Apakah itu tulang manusia? Sobari bergidik ngeri membayangkannya. Bau di ruangan itu kini terasa lebih menusuk hidung, perutnya mulai bergejolak, pandangannya perlahan kabur.
Demi bisa membayar debt kolektor yang sudah berkali-kali mendatangi kontrakannya, tadi malam Sobari nekat membobol toko kelontong di pinggir jalan. Naas, aksinya kepergok oleh sekelompok warga yang hendak pulang dari meronda. Sobari langsung berlari sekencang mungkin, warga beramai-ramai mengejarnya. Dia sengaja berlari ke tikungan jalan agar warga sulit mengejar. Akhirnya Sobari menemukan tempat persembunyian. Ketika ia merasa aman di persembunyiannya, tak disangka, tiba-tiba dari belakang ada yang menyerang. Sobari sempat melawan, beberapa saat melakukan pertahanan.
Namun, sia-sia saja. Dua orang yang menyerangnya berbadan lebih kekar dan kuat, berhasil membuatnya tak sadarkan diri. Malam sudah membungkus kota. Ruangan tempat Sobari dikurung gelap dan sunyi, ia bahkan sampai bisa mendengar suara napasnya sendiri. Kondisinya sekarang sudah membaik. Lebam di wajahnya memang belum hilang, tubuhnya juga masih nyeri setiap kali digerakkan, tapi setidaknya dia sudah sanggup berjalan atau bahkan berlari—bila sekiranya nanti diperlukan. Hidungnya juga sudah mulai terbiasa dengan aroma yang tak sedap.
Dua orang yang tadi siang datang sampai saat ini sepertinya belum berkunjung lagi. Entah takdir apa yang akan menimpanya nanti, yang pasti Sobari resah memikirkannya. Dia membuka bungkusan yang tadi siang dilempar kepadanya, ternyata jatah makan. Siapa pula yang berselera makan dalam kondisi demikian? Sobari menyingkirkan bungkusan itu.
Bujug buneng kejam amat ya bu kontrakan