
Gemuruh badai dari segala penjuru menyatu, mengangkatku pada awang-awang yang tidak bisa diterawang. Saat itu, aku sudah kehilangan ingatan. Mengabaikan apa yang terjadi hingga ketika sadar, aku telah basah kuyup dan dikerumuni banyak orang.
Seorang pendeta memegang keningku. Tanganku ditahan oleh beberapa pria berbadan kekar. Mereka membaca ayat-ayat yang berseberangan dengan kepercayaanku. Perlahan, kedua mataku membuka secara sempurna, dan mereka bersyukur atas kesadaranku.
Cerpen – Tersesat pada Perjalanan Sendiri by Eva Zulfa Fauziah
“Apa yang telah terjadi?” tanyaku. Kemudian, salah seorang pria yang tadi memegangi tubuhku menjelaskannya.
Aku memahami tentang kesalahan yang membuat penghuni lain marah. Tadinya, aku kira semua yang ada di buku, film, dan cerita turun temurun orang Bali hanya mitos belaka, tetapi itu adalah satu hal yang nyata.
Aku bukan manusia pertama yang tak sengaja memecahkan guci itu, tapi aku adalah manusia pertama yang bisa melarikan diri dari kesalahan yang telah diperbuat.
Artikel yang sesuai:
“Untung saja, kejadiannya terlihat oleh kami. Jadi bisa segera diatasi,” timpah yang lainnya.
“Sebenarnya, apa yang kamu lakukan sampai Sandekala menggiringmu ke dunianya?” tanya seorang pria yang memegang keningku. “Selain menendang guci untuk persembahannya?”
Aku memikirkan rekap tingkah laku ketika berniat mengunjungi Bali. Aku terus memutarnya berkali-kali, sampai menemukan jawabannya.
“Seorang teman menceritakan pengalaman buruknya selama di Bali kepadaku, yang kupikir itu diluar nalar. Lalu mencemoohnya, menantang, dan tak mempercayai sedikitpun cerita-cerita gaib itu. Sampai pada akhirnya, aku mengalami sendiri gangguan-gangguan mahluk yang tak bisa aku lihat wujudnya. Maafkan aku.”
“Ini bukan akhir dari kisahmu. Catatlah semua pengalaman yang kamu ingat dalam bukumu. Ceritakan dengan diksi logis agar tidak ada lagi manusia yang terjebak pada dunia yang tidak semestinya mereka kunjungi.” Pria yang menolongku itu, menyerahkan buku berwarna Jingga yang sedari aku menendang guci sudah tidak aku ingat lagi.
“Terima kasih,” balasku.
Aku kembali ke penginapan, merebahkan diri dan memutar kejadian yang baru saja terjadi. Lima jam yang melelahkan. Namun, membuatku tersadar jika di muka bumi ini manusia bukanlah makhluk satu-satunya. Sepuluh menit kemudian, aku memejamkan mata untuk menenangkan diri dalam kegelapan.






