Dua puluh tahun umurku sekarang, anak kecil yang dulu kecewa akan kebenaran kini sudah menerima, dan mengikhlaskan. Kini, aku sudah dewasa. Banyak hal suka duka ku lalui bersama keluargaku. Pikiranku melayang mengingat kejadian satu minggu yang lalu.
Satu minggu yang lalu, aku bertemu dengan seorang pemuda seumuran denganku. Dia menduduki dirinya di sebelahku. Aku menatap ombak yang menyentuh bibir pantai.
Pemuda itu memandangku, “hidup itu dinikmati bukan direnungi. Boleh sesekali meratapi kehidupan yang tidak adil denganmu. Tapi, ingat semua berjalan sesuai takdirnya. Aku tahu kamu selalu kesini, merenung dan terkadang menangis karena ibumu yang telah pergi. Ikhlaskan Ibumu, dia tidak ingin kamu berlarut dalam kesedihan.”
Dia berhenti sejenak, memberi selembar tisu kepadaku yang sedang menitikkan air mata. “Bukan kamu saja yang merasakan kehilangan, contohnya aku. Aku kehilangan kedua orang tuaku di waktu, hari yang sama. Aku awalnya sedih tapi perlahan mengikhlaskan. Hidup itu berjalan, kalo kamu terpuruk terus. Kebahagiaan akan lambat menghampiri dirimu. Sedih boleh tapi jangan berlarut. Ingat di sini, masih banyak yang sayang sama kamu. Poin pentingnya kamu harus bersyukur dengan keadaanmu sekarang. Hargai orang-orang tersayang mu. Mereka akan sedih jika kamu diam di sini sampai malam. Aku selalu berjaga untuk mu, aku takut kamu melakukan hal di luar nalar. Aku Kean, aku ada untuk mu. Aku seorang pemuda yang diam-diam menyukai dirimu. Ingat, ada aku di sini.”
Ucapan tulus dari Kean, membuat aku refleks memeluknya. Menangis sesenggukan, aku memang rutin ke pantai untuk merenung sampai malam. Aku menyadari dia yang selalu menjaga ku dari kejauhan.
Artikel yang sesuai:
Aku tahu, tapi aku diam. Namun, sekarang dia menghampiri diriku. Ternyata aku tidak sendirian, dia pun merasakan kehilangan kedua orang tuanya. Harusnya aku mengikhlaskan dan menerima kenyataan bahwa Ibu sudah tenang di sana. Dan bersyukur di kelilingi orang baik, contohnya Kean. Pemuda yang memenuhi pikiran ku akhir-akhir ini.
Di sore hari ini terdengar suara rintik-rintik hujan yang membuat ku termenung, aku menatap selembar kertas putih bersih. Di meja belajar ini. Aku menulis sesuatu, tanganku dengan lihai menulis kata demi kata.