Suara dering alarm Anira berbunyi dengan keras. Sengaja, agar ia terbangun dari tidurnya. Pernah Anira mengecilkan volume alarmnya dan membuat ia tidak bangun dari tidurnya. Tangan Anira meraba-raba meja di samping tempat tidur. Ponselnya masih belum bisa ditemukan.
Dengan terpaksa Anira membuka mata. Setelahnya ia berhasil mematikan suara alarm itu. Anira mengerjapkan mata berkali-kali. Masih memikirkan tentang mimpi yang baru saja ia alami. Rasanya ada kupu-kupu terbang di perutnya. Anira segera menutup wajahnya dengan selimut.
Baru saja ia memimpikan Relgo. Ingin sekali Anira tertidur lagi agar Relgo kembali mendatangi mimpinya. Benar saja, Anira lagi-lagi menutup mata. Sayang sekali, ia tak bisa tidur lagi.
Suara teriakan ibunya berhasil menggangu tidurnya. Langsung saja Anira beranjak dari tempat tidur. Sudah bisa ditebak ke mana gadis itu akan melangkah. Kamar mandi—tempat yang paling malas Anira masuki. Guyuran air dingin mulai mengenai tubuhnya. Selesai mandi, segera ia bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.
Singkatnya, Anira sudah sampai di sekolahnya. Ia tidak sabar bercerita tentang mimpi yang baru saja ia alami. Belum sempat Anira menaruh tasnya, ia sudah langsung bercerita kepada Dena.
“Hilih, cuma mimpi.” Hanya tanggapan itu yang keluar dari mulut Dena.
Artikel yang sesuai:
Anira yang tadinya bersemangat kini tiba-tiba saja merasa lesu. Ia menempelkan pipinya di atas meja. Tetapi, tetap saja ia merasa senang. Mimpinya tadi kembali memenuhi isi pikiran Anira.
Di mana sosok Relgo tengah memakai pakaian olahraga. Begitupun dengan Anira. Ternyata kelasnya dan kelas Relgo mendapat jam olahraga yang sama. Anira bisa melihat dengan jelas bagaimana Relgo bermain basket.
“Woi, An. Halu lagi kan lo?”
Tepat saat Anira membuka matanya, wajah Dena sudah berada di depan wajahnya. Sontak Anira menjauhkan kepalanya dari atas meja.
“Ngagetin aja lo, Den.”
“Move on, An. Pusing gue mikirin lo. Kita udah SMA, lo enggak mau suka sama orang lain gitu? Ganti orang kek. Banyak cogan di sini.”
“Enggak bisa Dena! Gue udah bilang, susah buat gue move on. Gue juga capek.”
“Jangan-jangan … Relgo pakai pelet!”
“Guys, ada jadwal pelajaran baru.” Suara sang ketua kelas menggema dipenjuru ruangan. Di tangan Ulfi telah membawa selembar kertas.
Ulfi segera menempel kertas itu di papan pengumuman yang berada di kelas X IPA 1. Setelah itu ia menyuruh teman sekelasnya untuk melihat jadwal baru itu tersebut. Anira segera bangkit dari tempat duduknya.
Terlihat di jadwal itu juga terdapat jadwal pelajaran untuk kelas lain. Mulut Anira terbuka setengah saat mimpinya kini menjadi kenyataan. Sungguh, Anira masih tak menyangka. Mungkin saja ini hanyalah sebuah kebetulan.
“Dena!” panggil Anira penuh semangat.
Di sinilah Anira sekarang. Dengan perubahan jadwal kemarin, ia akhirnya bisa mendapat jam pelajaran olahraga yang sama dengan kelas X IPS 2. Anira bisa melihat dengan jelas sosok Relgo yang tengah bermain basket. Matanya tak pernah lepas menatap ke arah Relgo.
“Gimana lo bisa move on, An? Sekarang malah kelas kita gabung sama kelasnya.” Dena masih saja memikirkan Anira.
“Iya kan? Setiap gue mau move on, ada aja hambatannya.” Dari menatap Relgo, Anira segera mengalihkan perhatiannya.
Benar yang dikatakan oleh Dena, jika seperti ini maka akan sangat susah untuk dirinya melupakan Relgo.
Sekitar satu setengah jam pelajaran mendapat pelajaran olahraga, akhirnya jam pelajaran tersebut berakhir. Seperti biasa, para siswa akan menuju keran yang dekat dengan garden house untuk mencuci tangan mereka setelah selesai melakukan olahraga. Seperti yang dilakukan oleh Anira dan Dena.
Ia mengantri untuk cuci tangan. Anira berdiri tepat di belakang sosok laki-laki yang tengah berjongkok sembari mencuci tangannya. Di belakangnya berdiri Dena. Di tengah-tengah mengantri itu Anira berbincang-bincang dengan Dena.
“An, udah tuh,” ucap Dena.