Cerpen – Seni Mencintai Sampai Mati by Eva Zulfa Fauziah

Seni Mencintai Sampai Mati

Aku menutup rapat mulut. Tidak akan ada gunanya berbicara dengan Biru kala emosinya meledak-ledak. Kami kembali pada ratapan sepi. Pada kekosongan akan kalimat. Pada gelap lautan yang tak lagi mengayun-ngayunkan ombaknya.

Namun, tiba-tiba saja dia menggenggam tanganku. Tangan kami yang sama-sama dingin, kemudian menghangat. Entah keajaiban seperti apa yang Tuhan berikan kepada kami.

Cerpen – Seni Mencintai Sampai Mati by Eva Zulfa Fauziah

Dia merogoh kantong celananya yang besar. Diambilnya sebuah gelang. Lalu dipasangkan pada tanganku yang lengang akan perhiasan. Gelang itu menetap sempurna di tanganku.

 

“Pada gelagarnya indurasmi, aku memberanikan setiap mimpi terungkap secara nyata. Neira, aku meradang-radang menahan hati untuk berhenti jatuh cinta kepadamu. Kepada Tuhan, aku selalu memaksa agar aku dijauhkan denganmu. Dengan mata indah yang menjadi bayanganku.”

Hatiku jejal. Aku tak mengerti dengan arahnya. Tadi dia tersenyum dan berkata mencintaiku. Sekarang dia mengungkapkan kalimat penarikan akan ucapannya. Aku memotong omongan Biru.

“Ru, kau lebih aku pahami ketika mendongengkan kisah ayahmu.” Aku menatap dalam mata Biru, sembari senyum tipis.

Aku menginginkan sekali Biru berkata, “Aku mencintaimu, jadilah kekasihku.” Namun, dengan kalimat itu berarti Biru telah memulai kisah kami. Dan pasangan kata memulai adalah mengakhiri. Aku tak ingin kisah kami seperti demikian, aku ingin kisah kami berjalan tanpa dimulai, tanpa pula diakhiri.

“Kisah mereka sudah lama habis, dan sekarang kita mulai dengan kisah baru. Kisah aku dan engkau.” Biru melepaskan tanganku dan beralih memegang kedua pipiku.

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn