Cerpen – Rahasia Antara Aku dan Semesta by Andini Mayangpuri

Cerpen - Rahasia Antara Aku dan Semesta by Andini Mayangpuri

Tatapanku terpaku pada layar laptop yang menampilkan halaman kosong microsoft word. Gerigi otakku mendadak tak mau berputar. Seperti ada sarang laba-laba di dalamnya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku memaksa diri untuk mulai mengetik semua kejadian itu. Meski itu sama saja dengan mengorek luka lama.

30 Desember 1998, aku dilahirkan dari rahim seorang wanita yang bahkan tidak pernah memimpikan kehadiranku. Malam itu, dengan penuh haru, ayah menggendongku dalam pangkuannya. Ibuku? Sibuk merutuki nasibnya yang dianggap sial karena terpaksa menikahi ayah dan melahirkanku. Namun, ayah tidak pernah ambil hati. Ia sudah kebal dengan sikap buruk ibu terhadapnya.

Cerpen – Rahasia Antara Aku dan Semesta by Andini Mayangpuri

Satu bulan setelah aku dilahirkan, ibu pergi dari rumah, meninggalkan kami. Setelah semua yang ibu lakukan, tak pernah sekalipun aku mendengar ayah membicarakan hal buruk tentangnya. Lalu, darimana aku mengetahui kenyataan pahit ini?

“Arin, ayo kita berangkat!” seru om Zein dari ambang pintu.

“Iya sebentar om,” jawabku sambil buru-buru menutup laptop. Om Zein, dialah yang menceritakan semuanya padaku. Tanpa aku sadari, dia sudah ada di belakangku.

“Kamu lagi ngetik apa?” tanya om Zein dengan alis berkerut memandangi laptopku.

“Bukan apa-apa.” Aku bangkit dari kursi dan menariknya keluar kamar.

“Tunggu … kamu mau main rahasia-rahasiaan sekarang sama om, hah?” tanyanya menaruh curiga.

“Haha … Om boleh baca kok kalau tulisannya udah jadi,” jelasku.

“Oke, awas aja kalau bohong!” Dia pura-pura mengancam. Aku kembali tertawa.

“Udah siap?” tanyanya.

“Siap Bos!” jawabku sambil mengacungkam jempol.

Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir

Disanalah kami berada saat ini. Semilir angin memainkan anak rambutku. Hatiku menghangat saat merasakan seseorang menggenggam tanganku dengan erat. Dia menatapku sambil tersenyum. Aku mengangguk yakin dan mulai melangkahkan kaki memasuki tempat itu. Kami berhenti di salah satu makam dan meletakkan seikat bunga di atasnya.

“Ayah, apa kabar? Aku sangat merindukanmu … apa Ayah tahu? Tahun ini aku akan kuliah. Anakmu ini sudah besar, Yah,” ucapku lirih sambil tersenyum, berusaha menahan air mata.

Om Zein merangkul pundakku dan berkata, “Iya, Arin adalah anak yang baik dan cerdas. Jadi Kakak tidak perlu mengkhawatirkannya. Aku juga akan menjaganya dengan baik.”

Aku mengalihkan pandangan, menatap wajahnya yang sebening embun. Wajah yang sama, yang selalu bisa membuatku tersenyum.

Tinggalkan Komentar