Cerpen – Mata Batin by Neng Erlin Marlindha

Cerpen - Mata Batin

Aku ingin membagikan sebuah kisah tentang sahabatku. Ini adalah kisah nyata yang aku saksikan sendiri. Saat itu kami duduk di bangku kelas 2 Sekolah Menengah Pertama di kotaku. Sekolah yang tidak begitu besar dan dipenuhi pepohonan rimbun dengan cat serba hijau menunjukkan pemandangan yang asri.

Kalian tentu sering mendengar sebuah cerita legenda yang terus ada secara turun-temurun di sekolah-sekolah. Seperti, Cerita omong kosong yang menyebutkan jika sekolah tempat kalian belajar dulunya adalah rumah sakit, kuburan, dan sebagainya.

Tentu saja itu hanya kisah yang dibuat-buat dan dibesar-besarkan agar ada cerita yang dapat dikisahkan di kemudian hari. Meski aku sendiri meyakini jika kisah itu ada untuk dijadikan pelajaran agar dapat menjaga sikap dan etika dimanapun kita berada.

Begitu juga dengan sekolahku, banyak teman-temanku yang mengatakan jika sekolah ini angker.

Cerpen – Mata Batin by Neng Erlin Marlindha

Karena dulunya bekas kuburan. Saat itu aku hanya tertawa pelan sebagai tanggapan. Hingga pada suatu hari, sahabatku sejak Sekolah Dasar mengalami hal-hal aneh yang tentu saja, ikut menyeretku juga mengingat bahwa aku adalah orang terdekatnya.

Kejadian itu bermula ketika aku dan teman-teman sekelasku yang lain, termasuk sahabatku berjalan bersama-sama menuju kantin sekolah yang berada di seberang gedung kelas kami. Kami kembali ke kelas dengan tangan yang dipenuhi oleh makanan ringan yang baru saja kami beli.

”Hei-hei, katanya lapangan ini bekas kuburan loh!” canda Nia, teman sekelasku. Dia mengatakan hal itu saat kami berjalan melalui lapangan serba guna yang sekaligus menjadi pemisah antara ruang kelas kami dan kantin. Kami menanggapi hal itu dengan tertawa, mengingat bukan sekali-dua kali kami membahas mengenai hal ini.

”Aduh!” sesorang berseru di belakang kami.

Kami segera menoleh dan berhenti tertawa demi mendengar suara itu. Rupanya sahabatku, Aswa. Dia mengaduh karena kakinya tersandung sebuah besi yang tertancap di dalam tanah. Sebenarnya, sejak dulu aku heran dengan keberadaan besi itu.

Teman-temanku dulu sering bercanda jika itu adalah bekas nisan yang lupa dipindahkan. Tentu saja dia hanya bercanda. Tapi yang tidak kami ketahui, sesuatu berubah setelah hari itu.

Beberapa hari kemudian mulai ada keanehan yang terjadi pada Aswa. Dia sering jatuh pingsan tanpa sebab, bahkan hingga beberapa kali dalam satu hari. Dia dapat pingsan kapan saja. Saat upacara bendera yang jelas-jelas cuacanya begitu teduh, saat senam, bahkan saat sedang makan.

Aku betul-betul ingat saat itu Aswa, Dinda, dan aku izin untuk tidak mengikuti senam pagi karena kurang sehat. Meski bagi Aswa, dia tidak diperkenankan oleh guru untuk mengikuti senam. Guru-guru khawatir jika dia akan jatuh pingsan seperti biasanya. Namun rupanya hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan aktivitas yang dilakukan Aswa.

Saat itu aku tengah duduk tenang di bangkuku. Dinda tengah menulis sementara Aswa tengah mengunyah sebatang coklat.

”Bruak!” Demi mendengar suara itu aku dan Dinda sontak menoleh dan melihat Aswa telah berbaring di tanah masih dengan menggenggam sebatang coklat.

”Dia pingsan lagi” gumamku.

”Panggil guru!” Seru Dinda padaku. Aku segera berlari menuju ruang guru, mengabaikan tatapan murid-murid yang sedang melakukan senam pagi yang jelas tertuju ke arahku.

Dengan tergesa aku menyampaikan apa yang terjadi. Bersamaan dengan itu beberapa guru berjalan dengan cepat menuju ruang kelas kami. Semuanya terjadi begitu cepat. Aswa dibawa ke ruang kepala sekolah dan dibaringkan di sofa.

”Pijat kakinya!” perintah Bu Tuti, wali kelas kami.

Aku segera mengangguk dan memijat kakinya. Beberapa menit kemudian Aswa mulai sadar dan langsung menangis histeris saat menatapku. Semua orang yang ada di ruang guru kebingungan, termasuk aku.

”Apa yang terjadi?” pikirku.

”Istigfar, Nak. Istigfar. Buka matanya, jangan merem lagi” bisik bu Tuti di telinga Aswa yang malah membuat Aswa berteriak dan membuatnya kembali jatuh pingsan.

Bu Tuti terlihat beranjak dan berbicara dengan guru-guru lain. Aku mendengar sedikit pembicaraan mereka, mereka akan memanggil orang tua Aswa. Aku terus memijat kaki Aswa sekuat tenaga agar dia tersadar. Kali ini memerlukan waktu lebih lama hingga Aswa bangun. Aku setia menemani.

”Bu, dia bangun” ucapku saat kulihat mata Aswa mengerjap. Dia terlihat menatapku, namun tidak menangis seperti tadi. Dia mulai terkendali dan beranjak duduk.

”Apa yang terjadi” tanya Bu Tuti sambil memberikan segelas air hangat pada Aswa.

Aswa menerima air itu, menenggaknya beberapa kali dan terdiam.

”Tadi ada perempuan menatapku di atas kepala Lina” ucapnya sambil menunjukku. Aku yang terkejut segera beringsut mendekati guru.

”Bagaimana rupanya?” pertanyaan Bu Tuti membuat sekujur tubuhku merinding.

Aswa terlihat diam. Lalu berucap, ”Dia memakai jilbab putih, wajahnya cantik dan sangat putih. Tapi…” Aswa menghentikan kalimatnya. Dia terlihat ingin menangis.

”Tapi apa?” tanyaku.

”Bola matanya tidak ada” ucap Aswa membuat kami semua terkejut. Terutama aku, apa katanya tadi? Sosok itu berada di atasku?

Siang itu Aswa dibawa pulang untuk mendapatkan pengobatan. Aku menceritakan apa yang terjadi pada teman-teman sekelas membuat mereka bergidik. Rupanya rumor tentang sekolah ini angker benar. Esoknya aku tidak masuk sekolah karena demam.

Tiga hari kemudian aku kembali datang ke sekolah. Saat itu Aswa terlihat ceria seperti biasanya. Katanya dia telah berobat dan sekarang dia baik-baik saja.

”Kakek Ayub, kakek yang mengobatiku bilang mata batinku tidak sengaja terbuka, makanya hal-hal aneh itu terjadi padaku” ujar Aswa sambil tersenyum.

”Tapi sekarang tidak lagi, dia sudah menutupnya” ucapnya kemudian.

”Syukurlah” balasku. Aku benar-benar bersyukur, karena jika Aswa tidak kunjung sembuh. Aku diminta untuk menjauhinya sementara waktu karena hal-hal mistis yang terjadi padanya akan berimbas padaku.

Setelah aku lulus dari sekolah itu akhirnya aku tahu, jika rumor soal sekolah angker di sekolahku itu nyata dan bukan hanya omong kosong belaka.

Apa yang terjadi diantara kami juga nyata, termasuk kenyataan bahwa mata batin Aswa belum tertutup sepenuhnya sehingga dia terus merasakan keberadaan makhluk tak kasat mata meski tak dapat melihatnya.

Makhluk-makhluk itu ada dan hidup berdampingan dengan kita. Makanya, lebih baik kita menjaga sikap agar tidak melewati batasan-batasan yang tidak kita ketahui wujudnya.

Ditulis Oleh: @nengerlin_m

1 komentar untuk “Cerpen – Mata Batin by Neng Erlin Marlindha”

Tinggalkan Komentar