Cerpen – Peony An by Ainunnisa

Cerpen - Peony An by Ainunnisa
“An, bagaimana caramu untuk bangkit dari segala rasa takutmu jika kau seperti ini terus?” Chen mengambil secangkir teh dan meminumnya.

“Aku sudah ber-berusaha tapi, tapi rasa takut itu selalu hah … selalu menguasaiku.” An tertunduk memainkan jari-jarinya yang gemetar.

“Aku memang tak mengeti bagai mana perasaanmu, An. Cobalah dari hal kecil dulu untuk mengalahkan rasa takutmu itu! Mungkin dengan mengajakmu bertemu dengan beberapa temanku adalah langkah kecil yang bisa kita lakukan?”

“Aku, sepertinya belum siap untuk itu.”

“Kau mau menyerah begitu saja. An, kau harus merubah prinsipmu dari ‘Mati sebelum berperang’ menjadi ‘Mencoba apapun hasilnya’ jika kau belum mencoba, bagai mana kau akan tau hasilnya.” An yang semula tertunduk, kini menatap Chen dengan matanya yang berkaca-kaca.

“Kau sendiri yang ingin terlepas dari segala rasa takutmu akan dunia ini kan. Kau juga sudah jauh-jauh datang ke Indonesia untuk mengalahkan rasa takut itu. Maka berjuanglah, aku akan senantiasa membantumu untuk bangkit.” An menatap Chen yang tersemyun lembut padanya.

“Dunia ini tak sekejam seperti yang kau kira An. Dunia ini indah dan terlalu sayang untuk dilewatkan. Kita memilki waktu yang terbatas dan di dunia ini, terlebih lagi entah perjalanan itu akan panjang atau singkat. Maka dari itu, berusahalah bangkit dan pandanglah dunia ini degan senyuman, tinggalkan dunia keterpurukanmua, An. Tugasmu saat ini bukan berdamai dengan dunia ini, melainkan dengan dirimu sendiri.”

“Tuhan menciptakan dunia ini untuk manusia agar dapat menempuh pelajaran hidup, dan nikmatinya sebaik mungkin.” Tambahnya sambil menyeruput teh hangatnya lagi.

An yang tertegu degan segala ucapan yang keluar dari bibir Chen tak mampu menyela perkataannya lagi. Semua yang diucapkan oleh saudaranya itu memang benar. Ia harus berusaha untuk melawan segala rasa takutnya. Karena itulah tujuannya juah-jauh datang ke tanah Indonesia ini. Kini ia merasa bahwa waktu yang selama ini ia lalui telah digenggam denga sia-sia, tengelam dalam masa lalunya yang mengerikan. Ia bahkan menjadi seorang pengangguran karena masa lalunya.

Diusianya yang kini menginjak kepala tiga, An baru akan memulai hidupnya. Maka dari itu, ia perlu menatap dunia dengan senyuman, bukan lagi dengan tangisan. Beriringan dengan hatinya yang mulai tenag, An menatap bunga Peony yang baru mekar di hadapannya. Tekatnya untuk bangkit kini semakin membara. Hati dan pikirannya mulai tumbuh untuk menyambut nasib baik dikemudian hari, seperti bunya Peony di hadapannya.

Ia berjanji pada dirinya bahwa mulai hari ini, ia akan menjalani hidup yang damai seperti arti dari nama pemberian kedua orang tuanya, An.

Penulis: Ainunnisa

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn