Ia menyaksikan hal itu dengan sangat jelas. Merahnya darah dari ketiaga orang yang berperan penting dalam hidupnya itu nampak mewarnai lantai rumah yang semula putih bersih. Etnis Tionghoa menjadi buruan para pribumi.
Sebuah persimpangan nampak jelas di depannya. Tubuhnya kini sudah tak mampu lagi untuk berlari, ia terjerembab di atas aspal dengan tangis yang tidak henti-hentinya mereda. Para pemuda itu kini berhasil menangkapnya. Gadis itu berusaha memberontak namun sia-sia. Tenaganya tidak sebanding dengan para pemuda dewasa itu.
Ia berteriak histeris kala pakaian yang ia kenakan dilucuti satu demi satu. Dipersimpangan jalan itu ia dapat meliaht banyak orang dengan etnis tionghoa disiksa dan dilecehkan. Dan hal itu kini tengah terjadi pada dirinya. Ia menagis dan berteriak histeris kala kehormatan yang ia jaga kini direnggut secara paksa.
20 April 2022
Seorang wanita berparas cantik menyeret kopernya di bandara Soekarno Hatta. Ia terlihat gugup kerap kali dirinya berpapasan dengan orang lokal dari Negara Maritim ini. Selama diperjalanan dari Negeri Tirai Bambu menuju Indonesia, ia berusaha mengatur degup jantungnya yang tidak karuan, kala ia duduk berdampingan dengan Pribumi. Untuk kesekian kalinya, tangan kurus wanita itu membenarkan letak kacamata hitam yang ia kenakan dengan gemetar.
Wanita itu bernama An. Ia merupakan gadis keturunan Cina yang pernah tinggal di Indonesa, hingga hal buruk merusak masa remajanya. Ia merupakan salah satu korban pelecehan yang terjadi akibat pembantaian Etnis Tionghoa pada tahun 1998. Bahkan seluruh keluarganya telah tiada diburu stigma. Bersyukur, kala itu kemurahan hati seorang yang tidak ia kenal menemukan An dalam keadaan sekarat, merewatnya hingga memulangkan An ke Negara dimana sisa keluarganya masih bertahan hidup.
Artikel yang sesuai:
Tujuan An untuk kembali menginjakkan kakinya di Negara dengan kenangan buruk bagi dirinya ini adalah untuk melawan rasa takutnya bersosialisasi. Terutama, rasa takutnya terhadap Pribumi. Beberapa hari yang lalu Ia telah memantapkan dirinya untuk hal itu. Selama tinggal di Indonesia ia akan ikut tinggal di rumah saudaranya yang juga merupakan salah satu korban di tahun 1998. Nasib saudaranya ini lebih beruntung dibandingkan An yang hampir sekarat dan mendapatkan trauma mendalam pada dirinya.
Akibat dari kejadian kelam yang ia alami itu, An menjadi kesulitan untuk dapat membuka diri. Ia tidak mampu bersosialisasi akibat ketakutannya terhadap setiap orang yang tidak ia kenal. Bahkan setiap malam ia selalu memimpikan kejadian mengerikan itu hingga membuatnya terbangun dan menangis sampai pagi menyingsing. Selama ini ia hidup menggurung diri di rumah sang nenek, hingga entah datang dari mana sebuah motovasi mengusik pikirannya itu untuk segera bangkit dari keterpurukan.
Ketika ia berjalan hendak keluar dari bandara, tiba-tiba seorang lelaki menghampiri An. An yang tak memiliki keberanian untuk melihat wajah dari lelaki itu terlihat gelagapan. Rasa takut untuk berinteraksi itu kembali menguasainya. Ia kebingungan dan semakin mempercepat jalannya, namun lelaki itu terus memanggil namanya, berusaha mengejar An. Ketika lelaki itu berhasil meraih pundaknnya, seketika lutunya tiab-tiba saja melemas hingga membuatnya terduduk dan menangis.
“An, kamu baik-baik saja? Tenaglah ini aku, Chen!” Ucapnya sambil memegangi bahu An.
An merasa sedikit lega kala ia mengetahui bahwa lelaki yang menghampirinya itu merupakan saudaranya, namun tangisannya tak mampu ia redam. Rasa takut yang menyelimutinya itu tak mampu ia kalahkan.
“An tenangkan dirimu, atur napasmu!” Tangnnya terulur untuk mengusap punggung lemah An.
Kini An sudah berada di kediaman Chen. Ia meminum teh hangat yang dibuat oleh Chen dengan tanggannya yang masih gemetara. Wajahnya yang pucat begitu terlihat lemah dan lesu. Ia berusaha mengatur napasnya yang masih tak beraturan akibat rasa takut.