Cerpen – Melawan Takdir untuk Matahari Terbenam by Marni

Cerpen - Melawan Takdir untuk Matahari Terbenam by Marni

Selain berair, jeruk juga mampu menahan rasa lapar. Setelah puas aku memutuskan untuk berjalan lagi. Kali ini aku lebih bertenaga dan tambah semangat!

Satu langkah lagi kaki ini terpijak pada perkampungan yang kucari. Tanganku terulur untuk membuka gerbang yang terbuat dari bambu dan berhias tanaman liar. Di sini lah aku. Bermodal keberanian dan ilmu pengetahuan.

Cerpen – Melawan Takdir untuk Matahari Terbenam by Marni

Tatapan orang-orang mulai kudapati. Hati dan jantung berdebar tak seirama. Aku menelan ludah beberapa kali. Kucoba tenang dengan melempar senyuman terindah pada orang-orang.

Mataku terarah pada seorang anak yang bisa aku tebak baru menginjak usia sembilan tahun tengah memberi makan pada sang suami yang umurnya jauh lebih tua.

Aku pun dapat menghitung jumlah gubuk yang tak banyak itu. Sepuluh gubuk.

Semua gubuk hampir sama. Terbuat dari dedaunan yang dianyam dan juga ada yang terbuat dari jerami. Begitu miris tatapan ini. Tak menyangka orang-orang di sini mampu bertahan dengan kerasnya kehidupan.

“Nduk.”

Lamunanku buyar. Aku mendapati seorang wanita paruh baya dengan daster biru yang begitu lusuh. Aku menggaruk tengkuk yang terasa gatal.

Aku tersenyum dan mencium tangan kanannya sebagai rasa hormat.

“Maaf, Bu. Saya tersesat di hutan hingga bisa ke perkampungan ini.” Bohongku dengan menggigit bibir bawah.

Wanita itu tersenyum. “Astagfirullah. Kasihan sekali kamu, Nduk. Cantik-cantik gini tersesat di hutan belantara.”

Aku mengangguk canggung. Wanita itu menepuk pundakku dengan raut berbinar.

“Saya Bu Alini,” ucapnya memperkenalkan diri.

“Nama dan asal kamu apa, Nduk?” tanyanya dengan nada yang lebih lembut.

“Saya Citra. Saya berasal dari Jakarta.”

“Uwalah! Saya dan orang-orang kampung sini pun juga berasal dari kota Jakarta,” ucapnya penuh kegirangan.

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn