Suara bising dan kemacetan kota sudah menjadi makanan sehari-hari.
Ternyata hidup di kota tidak seindah yang dibayangkan. Aku menyusuri trotoar yang sudah sedikit berlubang, cuaca panas tak membuat semangatku runtuh. Karena aku harus mendapatkan pekerjaan, itu tekadku saat ini.
Cerpen – Jalan Takdir by Nandang Setiawan
Aku selalu menjinjing map cokelat dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Namun, sampai saat ini masih belum ada panggilan. Namaku Damar, lelaki desa yang pergi merantau ke kota untuk mendapat pekerjaan yang layak.
Berbekal tekad dan selembar ijazah SMA yang kubawa dari kampung halaman. Ternyata memang benar adanya, sangat sulit untuk mendapatkan sebuah pekerjaan.
‘Lo nggak boleh nyerah, semangat terus. Jalan lo masih panjang, Mar.’ Itulah kata-kata yang selalu aku ucapkan agar semangat tak goyah.
Siang begitu cepat berlalu, senja sudah datang menghampiri. Akan tetapi, aku belum menemukan sebuah pekerjaan. Padahal uang yang aku bawa semakin menipis. Untungnya ada bibi yang mau menampungku selama dua minggu ini.
Suara azan magrib berkumandang, aku menepikan langkah menuju masjid terdekat. Lalu mengambil wudu dengan tertib. Masjid besar ini sepi. Sungguh disayangkan. Coba saja di kampungku ada masjid seperti ini, pasti penuh dan ramai.
“Ya Allah aku tahu tidak ada cobaan melebihi kemampuan. Akan aku ikuti kemana takdir membawaku. Tambahkan lagi kesabaran dan kelapangan hamba untuk menerima takdir-Mu Ya Rabb. Sehatkan jasmani dan rohani agar hamba mampu berjuang lebih keras lagi. Jaga keluarga hamba di kampung ….”
Entah mengapa, selalu ada ketenangan saat aku memenuhi panggilan-Nya. Aku memang bukan hamba yang taat, hanya saja sedang berusaha. Setelah selesai, aku bergegas keluar dari masjid yang hening ini. Lalu memakai sepatu lusuh yang merupakan pemberian ibu. Lebih baik pulang karena hari beranjak malam.