Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Panasnya mentari seakan membakar tubuh dan mampu mengeringkan tenggorokan yang sudah lima jam tak terisi sumber kehidupan. Keringat berguguran bagai hujan lebat menimpa raga. Aku memilih untuk duduk sebentar di tengah lebatnya pepohonan.
Cerpen – Melawan Takdir untuk Matahari Terbenam by Marni
Kali ini aku benar-benar harus berusaha lebih untuk mencapai tujuan utamaku meski harus melawan restu dan takdir sekalipun.
Hatiku teriris berkali-kali ketika mengenang percikan kesan buruk yang aku buat untuk keluarga besar, terutama Ayah dan Bunda. Namun, kembali mengingat sebuah kabar dari beberapa teman bahwa ada sebuah perkampungan yang begitu terpencilnya melakukan tradisi yang akan menghancurkan anak-anak zaman sekarang. Menikah di usia dini.
Kata itu terus terngiang di pikiran. Rasanya tak rela jika harus mengetahui anak usia dini harus dinikah paksa dengan orang yang lebih dewasa. Masa depan mereka, harapan, dan kebahagian mereka dipertaruhkan. Hingga aku Citra Ayunda Sari memutuskan untuk membantu merubah takdir mereka untuk jauh lebih baik dengan adanya pendidikan.
Aku lulusan sarjana lulusan S2. Karena itulah aku mempunyai nekat dan tujuan yang besar untuk merubah masa depan anak usia dini lebih berharga ketimbang menikah dengan paksaan orang tua.
Aku tidak menyepelekan perkara menikah. Aku menganggapnya sakral. Namun, kali ini aku tak menyetujui akan adanya pernikahan yang dilandasi keterpaksaan.
Aku memijit pelipis sebentar. Kepalaku terasa berat. Sungguh ingin aku menyerah. Namun, tinggal beberapa meter saja aku sudah bisa menemui perkampungan itu.
“Bismillah.” Aku mulai berdiri dengan raut semangat meski badan terasa rapuh.
Bunyi hewan mulai bersahutan tak membuat nyaliku menciut. Mataku mengicing pada sebuah pohon yang tak terlalu tinggi dan berbuah lebat. Kupercepat langkah untuk memastikannya. Aku tersenyum lega.
Akhirnya aku menemukan buah yang bisa aku makan. Jeruk.