Cerpen – Teriakan

Cerpen Teriakan
Masih menjadi misteri dari mana suara teriakan di tengah malam itu berasal. Suara teriakan yang begitu melengking membuat siapa saja merasa takut. Terkhusus untuk penghuni kamar nomor 13 di salah satu kosan. Lanufa terpaksa tinggal di kos yang mengerikan itu, lantaran hanya kos tersebut yang tersisa di dekat sekolahnya. Antara senang dan takut bercampur menjadi satu.

Senang karena diterima di SMA favoritnya dan takut karena harus tinggal di kos yang menyimpan banyak misteri.

Kos yang Lanufa tempati sangat dekat dengan sekolahnya. Tak sedikit orang yang mengetahui situasi kos tanpa tuan rumah itu. Dari luar situasinya terlihat biasa-biasa saja. Namun, situasinya berbeda ketika memasuki area kos tersebut. Awal pertama kos, saat pertama kalinya Lanufa mendengar suara teriakan itu, ia begitu ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat.

Keringat dingin keluar dari dahi Lanufa. Jangan lupakan air mata yang mulai keluar membasahi pipi Lanufa. Tidak hanya itu, ingin lari saja begitu sulit untuk Lanufa lakukan karena tubuhnya terasa begitu kaku. Suara teriakan tersebut memang tidak berlangsung lama namun, cukup membuat rasa takut yang berkepanjangan. Tetapi, nasihat-nasihat penghuni kosan lainnya mampu membuat Lanufa bertahan sampai saat ini.

Cerpen – Teriakan

Jika disuruh memilih, Lanufa lebih memilih untuk berada di sekolah lebih lama daripada harus pulang ke kosannya. Dengan berat hati, kaki gadis itu mulai memasuki area kosan setelah jam pelajaran sekolah telah berakhir. Lanufa sudah siap untuk mendengarkan suara teriakan itu lagi. Tangan Lanufa mulai memegang knop pintu.

Sebelum masuk, Lanufa memejamkan matanya tak lupa dengan mulutnya yang berkomat-kamit mengeluarkan beberapa doa. Suara derit pintu terbuka. Kini sudah terlihat tempat tidur Lanufa. Ruangan itu memang tidak cukup luas. Baru membuka pintu, sudah bisa terlihat tempat tidur Lanufa. Di sebelah utara merupakan kamar mandi dalamnya.

Di sebelah selatan, tepatnya di samping tempat tidur terdapat meja belajar dan lemari kecil. Di sebelah barat, terdapat satu meja lagi. Di atas meja terdapat magic com dan sebuah bunga hias palsu.

Tangan Lanufa menaruh tas gendongnya di meja belajar. Tak ingin melewati hari yang begitu berat ini, ia memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya. Yang hanya terdengar di kamar itu adalah detik jam yang terus berjalan. Rasanya Lanufa baru saja menutup mata. Ketika sudah bangun, ternyata jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore.

Sebentar lagi, warna langit akan berubah. Begitu juga dengan cahaya matahari yang mulai menghilang. Sudah biasa dengan keadaan yang menyeramkan, ia memilih untuk menyegarkan tubuhnya. Meski sudah terbiasa, jantung Lanufa tetap berpacu tak beraturan. Suara teriakan melengking itu kembali memenuhi isi pikiran gadis remaja tersebut.

Semakin malam, suasananya semakin mencekam. Itulah yang dirasakan oleh Lanufa. Suara jangkrik di luar kalah dengan suara jantung Lanufa yang berdegup dengan kencang. Sekarang, ia sudah berada di atas tempat tidur dengan selimut yang menutupi dirinya. Sesekali, ia melihat ke arah jam wacker. Sudah menunjukkan pukul setengah dua belas.

Lanufa berkali-kali memejamkan matanya, berharap malam ini ia bisa tidur dengan nyenyak. Lebih tepatnya, tidak mendengar suara teriakan itu lagi.

Namun, harapan Lanufa pupus begitu saja kala suara teriakan yang begitu melengking itu kembali ia dengar. Seperti teriakan seorang gadis yang ingin meminta bantuan. Ia mendengar dengan jelas, bahwa teriakan tersebut seperti suara teriakan siksaan. Bisa dibayangkan apa yang Lanufa lakukan sekarang. Ia memeluk bantal gulingnya erat-erat.

Tak seperti biasanya, suara teriakan kali ini berlangsung cukup lama. Bahkan bisa ia dengar, suaranya berada tepat di samping Lanufa. Tubuhnya seperti mati rasa. Malam ini sangat berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Ia sama sekali tidak berani membuka mata. Mulut Lanufa kembali berkomat-kamit, melontarkan beberapa doa untuk mengusir rasa takutnya.

Suara teriakan yang mengganggu Lanufa masih terdengar dengan jelas. Lanufa ingin pergi dari kamarnya, tetapi tak ada yang bisa ia lakukan selain tetap diam dan menutup mata. Untuk membuka mata saja membutuhkan keberanian yang kuat untuk dirinya. Semakin lama, suaranya membuat Lanufa menutup kedua telinganya. Sungguh, ia tak tahan lagi.

Tinggalkan Komentar