Cerpen – Langis by YH Harahap

Aku mengenali mata itu pertama kali di pemakaman Prameswari, salah satu rekan kerja di kantor yang sama. Tak seperti mata orang-orang terdekat Prameswari yang sembab, mata itu dingin, kelam dan tak bernyawa. Seolah ia turut mati bersama jiwa Prameswari yang tak lagi ada.

Hari itu cuaca mendung, semesta turut menghantarkan kepergian Prameswari. Gadis ceria berwajah mungil itu pergi dengan secara tak terduga, tanpa sakit tak pula bencana. Tak ada yang tahu sebab pastinya, juga kronologi kenapa Prameswari yang sehat walafiat hingga kemarin meninggal secara tiba-tiba.

Cerpen – Langis by YH Harahap

Aku dan beberapa rekan kantor datang melayat. Aku tak bertanya apa-apa, sedang yang lain hanya diberi penjelasan bahwa ia meninggal secara tiba-tiba. Pagi tadi keluarganya menemukan Prameswari dengan tubuh yang dingin di atas kasur, sudah tak bernyawa.

Tak ada lagi yang bertanya setelah penjelasan sederhana itu, lagi pula bukan waktu yang tepat untuk memenuhi keingintahuan penyebab Prameswari meninggal saat dalam keadaan berduka seperti ini.

Aku tak terlalu memperhatikan yang datang. Meski tak begitu dekat dengan Prameswari, aku cukup terpukul dengan kepergiannya yang tiba-tiba. Seolah aku sedang ditampar kenyataan bahwa yang sehat raga juga bisa pergi menghadap Yang Kuasa kapan saja.

Aku baru menyadari jika pelayat sangat ramai saat akan melakukan prosesi pemakaman. Halaman rumah duka sesak oleh orang-orang yang berduka, juga yang sibuk untuk mempersiapkan kepergian Prameswari. Saat hanya sedikit yang diperbolehkan mengikuti prosesi pemakaman, aku menjadi salah satu yang terpilih. Dan di sanalah, tepat saat tubuh Prameswari memasuki liang lahat, aku bertemu pandang dengan mata kelam itu untuk pertama kalinya.

Sejak menemukan mata itu, aku tak lagi fokus memperhatikan prosesi yang ada. Sorot itu meski telah berlalu adu pandang denganku, justru semakin membawaku ke tingkat rasa penasaran yang begitu meluap. Seolah dalam sorot kelam itu ada luapan yang ingin tumpah, menjerit ingin dikeluarkan.

Gerimis mulai mengguyur, aroma tanah mulai tercium, satuper satu pelayat mulai meninggalkan pemakaman, juga si pemilik mata kelam itu. Aku dan rekan kantor yang menjadi sahabat Prameswari juga turut meninggalkan pemakaman. Hari itu, yang aku tahu aku hanya penasaran dengan kelamnya mata itu, bertanya-tanya siapa Prameswari baginya hingga ia menyatukan banyak perasaan di sana, tanpa airmata kehilangan.

Tinggalkan Komentar