Cerpen – Pentingnya Seseorang untuk Bersyukur by Fita Arofah

Cerpen - Pentingnya Seseorang untuk Bersyukur by Fita Arofah

Namaku Ceisya. Aku hanyalah murid SMA yang pemalas dan membosankan. Tak ada yang mau berteman denganku karena sikapku yang dingin dan judes. Walau begitu, aku tidak peduli, karena aku hidup untuk diriku sendiri.

Cerpen – Pentingnya Seseorang untuk Bersyukur by Fita Arofah

Siapa sangka seorang Ceisya yang mereka sangka anak pemalas dan judes itu memiliki masa lalu yang kelam? Ya, aku mempunyai masa lalu yang kelam. Apa itu? Bully. Aku sering di bully sewaktu masih duduk di sekolah dasar dan menengah. Selain itu, hubunganku dengan keluargaku yang kurang dekat membuatku semakin merasa kesepian.

“Alfa, makan dulu, yuk.” Itu adalah suara wanita paruh baya yang sudah melahirkan ku. Aku menyebutnya dengan sebutan mama.

Alfa, ia adalah adikku yang usianya terpaut dua tahun lebih muda dariku. Mama dan papa selalu memanjakannya, itu karena Alfa mempunyai penyakit jantung dan membuatnya tak bisa seperti anak-anak yang lain. Dan itu juga yang membuatku semakin tersudut karena orang tuaku lebih menyayangi Alfa.

“Ceisya, bagaimana sekolahmu? Kamu tidak membuat masalah lagi, kan?” tanya mama sembari menyuapkan Alfa makan.

“Iya, baik-baik saja kok, Ma,” jawabku dengan malas. Lagi pula, apa yang aku lakukan di sekolah? Yang aku lakukan di sekolah hanyalah berangkat, duduk, tidur dan pulang. Selain itu, aku sangat malas melakukan sesuatu.

Saat ini kami tengah berada di ruang keluarga. Hanya ada aku, mama dan Alfa. Sedangkan papa masih di luar negeri karena bekerja.

Mama meletakkan mangkuk berisi sup yang tadinya untuk makan Alfa. “Nak, mama tau semuanya tentang apa yang kamu lakukan di sekolah.” Tubuhku menegang sesaat, setelah itu kembali menormalkan ekspresi ku.

“Apa, sih, Ma?” tanyaku pura-pura tak paham.

“Ceisya, tadi wali kelas kamu menelpon mama kalau kamu ke sekolah hanya tidur. Benar?” Aku tak membalas pertanyaan mama karena semua itu memang benar adanya.

“Memangnya kenapa? Aku bosan harus sekolah setiap hari.” Terlihat mamaku menghela napas pelan.

“Ceisya, dengar. Tugas kamu itu untuk saat ini hanya sekolah, kamu seharusnya bersyukur karena masih bisa bersekolah. Lihat Alfa? Dia harus bersekolah dari rumah karena penyakitnya.” Aku memutar bola mataku dengan malas.

“Alfa lagi, Alfa lagi. Sampai kapan aku selalu dibandingkan dengan Alfa? Aku capek, Ma. Nggak di sekolah, nggak di rumah, semuanya sama saja. Aku tidak suka dibandingkan,” sentakku lalu beranjak dari duduk untuk pergi ke kamar. Mama yang mendengar itu nampak menghela napas panjang.

Aku berbaring di kamar luas ku. Aku terus melamun dan tak sadar menitikkan air mata. Aku mengaku kalau perbuatanku tadi memang sudah kelewatan. Namun, aku hanya mengatakan apa yang ada dalam hatiku. Alfa memang butuh perhatian lebih. Tapi, apakah dengan begitu mereka tak memperhatikanku?

Tinggalkan Komentar