Cerpen – Meja Nomor Satu by Sri Cicik Nurita

Cerpen - Meja Nomor Satu by Sri Cicik Nurita

Laki-laki itu kembali menghela napas. Mengusap wajahnya yang berminyak dengan kasar. Lalu menundukkan kepala, sampai kalimat itu terucap dari mulutnya. “You have to stop being stupid, Da. Please be aware, not all sincerity must be reciprocated with feelings.”

“Kenapa aku harus sadar, Mas?” Tanyanya. Membuat Mas Farhan mendongak demi menatap sepasang matanya yang berkilau.

Laki-laki berkemeja hitam itu terdiam cukup lama. “Karena dari awal, kita sudah berbeda.”

“Apanya yang berbeda? Bukankah Mas sendiri yang bilang, kita bicara sebagai dua manusia yang mempunyai perasaan.” Dahayu menegakkan punggungnya. Mencoba menuntut jawaban dari Mas Farhan. “Tolong jawab, Mas.”

“Dengar ya, Dahayu.” Laki-laki itu menjeda ucapannya. Demi menetralisir sesak yang kini memenuhi rongga dadanya secara tiba-tiba.

“Tolong jangan memaksakan apapun dalam hal ini. Sudah saya bilang, dari awal kita berdua sudah berbeda. Kamu sadar tidak? Saya dan kamu berjalan di jalan yang berbeda. Tujuan kita tidak searah. Jangan membuang-buang waktu kamu hanya untuk berputar balik agar kita bisa berjalan di jalan yang sama.”

“Lebih baik kamu meneruskan sisa perjalanan kamu sampai selesai meskipun tanpa kehadiran saya. Ketimbang kamu putar balik demi menemani saya, tapi perjalanan kamu tidak habis-habis. Kamu bisa merugikan banyak orang, termasuk diri kamu sendiri. Jadi… saya mohon jangan memaksakan apapun. Kalau kamu tetap memaksa, bukan hanya saya yang terluka… tapi kamu juga.”

Mas Farhan tengah berbicara kepadanya, namun Dahayu tidak bisa mendengar apapun kecuali denging panjang yang memekakkan telinganya. Hingga perlahan-lahan, cairan bening itu berkerumun di sepasang matanya.

Dari ribuan laki-laki yang ada, kenapa harus Mas Farhan yang dapat mengoyakkan hatinya? Kenapa lagi-lagi ia harus patah hati pada orang sama?

Lalu lalang orang-orang di cafe malam itu tak kunjung membuat lukanya tertutup, yang ada semakin lebar dan parah. Hingga berdarah-darah. “Mas? Apa aku salah telah berakhir mencintai kamu? Tidak bisakah sekali saja aku ingin memaksakan kehendakku sendiri?”

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn