Langit perlahan-lahan berubah menjadi lebih gelap saat Dahayu memutuskan untuk menyeruput kopi yang tidak lagi hangat. Hari ini cukup melelahkan. Oleh karena itu ia memutuskan untuk mampir ke cafe dekat kantor sebelum benar-benar pulang ke rumah. Setidaknya untuk mengistirahatkan isi kepala yang rasanya ingin pecah.
Tapi semuanya berbeda ketika perempuan itu tidak sengaja bertemu dengan Mas Farhan—atasannya di kantor. Mereka tidak sengaja bertabrakan di pintu masuk tadi. Awalnya, Dahayu ingin langsung pulang setelah meminta maaf kepadanya sebab ia yang tidak sengaja menabraknya. Tapi ketika Mas Farhan mengatakan bahwa ada satu hal yang harus di bicarakan dengan serius, dirinya tahu, semuanya akan pasti akan berakhir hari ini.
Cerpen – Meja Nomor Satu by Sri Cicik Nurita
Tentang perasaannya yang tak terbalaskan. Segala keresahan yang satu hari ini ia alami, mungkin akan terbayar tuntas hari ini.
“Jadi…” Ada jeda dimana waktu terasa seperti berhenti berputar saat Mas Farhan menyugar rambutnya kebelakang. Di sana, Dahayu menahan napas sebentar. Hanya untuk memastikan bahwa yang ia lihat sekarang adalah benar. Bahwa Mas Farhan benar-benar ada di depan mata. “Gosip kalau kamu pernah memposting foto saya dalam salah satu sosial media kamu, itu benar?”
Perempuan itu terdiam. “Saat ini kita bicara bukan sebagai bos dan karyawan. Tapi sebagai dua manusia yang mempunyai perasaan.” Perkataannya membuat Dahayu tertegun cukup lama. Sampai ia sadar, bahwa laki-laki memang sulit untuk dirinya gapai sendirian.
“Mas Farhan—” Dirinya tergagap, tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kecuali menghela napas berkali-kali. Jujur saja, ia tidak pernah menyangka bahwa Mas Farhan akan tahu tentang apa yang terjadi seminggu yang lalu secepat ini.
Perempuan berambut panjang itu menghela napas kembali. Sebelum akhirnya berkata, “Ini bukan seperti yang Mas pikiran.”
Mas Farhan menatapnya dengan sorot mata yang tenang. Tapi Dahayu tahu, di balik jernihnya kedua matanya. Dia sedang menuntutnya untuk berkata jujur. Ada amarah dalam kedua matanya yang berkilau karena lampu kemuning.
“Saya nggak bodoh, Dahayu.” Kata Mas Farhan seraya melipat kedua tangannya di depan dada. “Saya tahu jenis tatapan apa itu saat kamu melihat saya, Da.”
Dahayu geming. Lalu tatapan matanya beralih pada angka nomor 1 didekat gelasnya. “Maksudnya Mas Farhan apa?”
“Jangan berpura-pura bodoh.” Kata Mas Farhan lebih tegas lagi. Laki-laki itu menatap perempuan di hadapannya dengan tatapan yang mematikan. Namun di balik semua itu, ada pendar redup yang tidak bisa di lihat oleh siapapun. Ia tatap perempuan itu tepat pada kedua matanya yang terus menghindar dari pandangannya. Ada sorot ketakutan di sana. Namun, tidak bisa ia pungkiri juga, ia juga melihat pendar kesedihan dari kedua matanya.