Bukan kali pertama aku kesini, duduk di puncak bebatuan tinggi ketika sang surya bersiap kembali ke peraduannya. Tempat ini tak pernah berubah, selalu indah dan sepi menenangkan. Namun, hari ini aku menemukan hal baru yang membuat senja sore ini tampak lebih indah.
Aku melihatnya dari kejauhan, saat rambut panjang itu tersapu angin sore yang menyejukkan. Dia sangat hebat, mampu membuatku berpaling dari sang megah merah yang selalu memikat. Meski tak ada satupun kata yang terungkap, namun tatapannya seolah membisik telinga dalam jiwa. Menyihir diri seolah titik fokus kini hanya ada pada dirinya.
Cerpen – Bidadari Senja by Alifatus Sintia Devi
Ku ukir seulas senyuman ketika dia berbalik melihat ke arahku. Dia balas tersenyum dan berjalan dengan langkah pasti menuju..
“Ke arah ku?” jantungku berdebar cukup keras, dengan kepala celingukan. Sekarang aku menyadari jika di sini hanya ada aku dan dia.
“Kamu sendirian?”
Artikel yang sesuai:
Ah.. suara itu membisik ke relung jiwa hingga mampu menggetarkan dada. Tak ada lagi kata yang keluar dari mulutku, selain mulut terbuka tanpa untaian kata. Dia tampak sangat cantik hingga membuatku benar-benar tak berkutik.
“Hallo!” tegurnya membangunkanku dari lamunan.
“I-iya”
“Boleh aku duduk di sampingmu?” dia bertanya dengan wajah mendongak dan tangannya yang terulur menunjuk tempat kosong di sampingku.
“Tentu, tapi apa kau tidak kesulitan dengan rok itu?”
Dia menunduk, memastikan bahwa dia bisa naik ke atas sini tanpa kesulitan.
“Tidak masalah” jawabnya dengan pasti.
“Baiklah, kemari!” ku ulurkan tanganku untuk memudahkan dia memanjat batu besar ini.
“Kau sudah lama tahu tempat ini?” ucapnya sebelum mendudukkan diri di sampingku.
“Iya, bagaimana denganmu?”
“Sebenarnya aku tersesat, tapi aku tidak jadi panik saat menemukan tempat ini.”
Sungguh aku sangat terkejut mendengarnya, bagaimana bisa ia terlihat begitu tenang saat dia bahkan menyadari bahwa dirinya sedang tersesat. “Bagaimana bisa? Apa kau membawa ponsel?”
“Tidak.”
Mataku membola tak percaya mendengar penuturan itu. “Lalu? Kau justru diam disini dan membiarkan mereka kebingungan mencarimu?”
“Jangan panik, aku memilih diam disini agar tidak tersesat semakin jauh. Jika mereka tak bisa menemukanku, kurasa kau yang harus mengantarku pada mereka.” Astaga lihat bagaimana dia begitu percaya diri saat mengatakan kalimat terakhir itu.
Sungguh aku tak habis pikir, bagaimana ada seorang perempuan terlihat begitu tenang saat sedang tersesat, bahkan tak ada raut ketakutan sama sekali saat ia menjumpai orang asing di tengah hutan.
“Serius! kau percaya padaku?”
“Why not? aku yakin kau bukan orang jahat.”
“Astaga, kau tidak boleh berpikiran terlalu baik pada orang lain!”
“Tidak, ini hanya berlaku padamu.”
Argh! sungguh, aku semakin tidak mengerti dengan apa yang ada dalam kepalanya.
“Kalau begitu, ayo! aku akan mengantarmu kembali.” ajakku padanya, aku berdiri dari dudukku dan ku ulurkan tanganku untuk mengajaknya kembali.
“Jangan terburu-buru, setidaknya biarkan aku menemanimu melihat senja sore ini.” Tanpa memalingkan pandangannya dari sang surya, ia berucap dengan begitu santainya, bahkan membiarkan uluran tanganku tersapu angin.
Mendengar penuturan itu membuatku mendudukkan diri kembali, menatap sang mega merah yang perlahan turun ke peraduannya.
Senja sore ini total menyihirku dalam wajah rupawan yang berada tepat di sampingku.
Rasa iri pada angin menggerogoti hati, ketika dengan leluasa angin membelai mesra wajah rupawan yang tampak bersinar karena pantulan cahaya senja.
“Kau menyaksikannya, kan?” ucapku pada sang surya yang mulai tampak setengah.
“Aku menyukainya, bisakah kau mengatakan padanya?” kini aku merasa sudah sangat gila.
Penulis: Alifatus Sintia Devi