
“Kau ini mendengarkan apa yang aku bilang atau tidak? Aku bilang, bersihkan lantai itu. Mengapa tidak kau bersihkan?” teriak Lila dengan amarah yang terpancar jelas pada wajah gadis itu. Aku pun masih menunduk dengan air mata yang sudah mengalir sedari tadi.
Teriakan Lila ternyata membuat siswa lain penasaran dan membentuk sebuah lingkaran. Aku semakin merasa takut karena sesaat lagi pasti Lila menyuruh mereka untuk merundungku. Aku mulai terisak.
Cerpen – Kehidupan yang Tak Adil by Fita Arofah
“Hey, kalian. Ayo, bawa gadis cupu ini ke toilet.” Mereka langsung menyeretku dan membawa menuju toilet.
“Kumohon, jangan,” lirihku dengan Isakan kecil. Namun, mereka tak mengindahkan ucapanku dan malah membawaku ke dalam toilet. Guru-guru tidak ada yang melerai karena mereka tengah rapat. Dan kelasku juga agak jauh dari ruang guru. Saat ini aku hanya bisa pasrah dan menerima semua yang mereka lakukan kepadaku.
Mereka menyiramku dengan air, memang air biasa. Namun, efeknya begitu dahsyat di dalam tubuhku karena terus-menerus disiram air. Badanku kedinginan. Namun, mereka terus saja melakukan hal itu.
Artikel yang sesuai:
Setelah dua jam berlalu, barulah mereka menghentikan kegiatan mereka. Mereka meninggalkanku sendirian, badanku menggigil hebat disertai ringisan kecil dari mulutku.
“Ibu,” bisikku seraya memeluk diriku sendiri.
Aku berdiri dengan badan yang bergetar karena terlalu dingin. Dengan langkah pelan, aku berjalan melewati koridor yang sudah sepi. Aku mengambil tasku dan pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku melihat ibuku yang menatapku dengan senyuman. Namun, senyum itu luntur setelah melihat keadaanku yang mengenaskan. Aku jadi merasa bersalah.
“Kamu kenapa, Kanaya?” tanya Ibu dengan nada lembut.
“A-aku, tadi di sekolah hujan, Bu,” jawabku bohong.
Kulihat Ibu yang menghembuskan napasnya. Ia menatapku dengan pandangan teduh seperti biasa, dan itu semakin membuatku merasa bersalah.
Ibu menuntunku untuk duduk di kursi kayu. Ia mengusap rambutku yang masih basah itu. Ibu lalu berkata, “Nak, ibu tau kalau selama ini kamu bohong sama ibu. Kamu setiap hari selalu pulang dengan keadaan tidak baik-baik saja. Ada masalah? Ayo, cerita sama ibu. Jangan sungkan.”
Air mataku meluruh begitu Ibu berucap demikian. Aku selalu menyembunyikan ini semua karena tak mau membuat hati Ibu hancur.
“Nak, apakah kamu selalu dirundung saat di sekolah?” tanya Ibu yang membuatku mematung. Ibu bertanya seperti itu karena tau kalau banyak sekolah favorit yang seperti itu.
“Ayo, jawab ibu,” ujar Ibu.
Aku tak menjawab, hanya tangisan yang membuat Ibu tau bahwa memang benar kalau aku selalu dirundung saat di sekolah. Ibu memelukku untuk menyalurkan ketenangannya.
“Ibu tau, kamu itu anak yang kuat. Kamu tau? Hidup ini memang tidak adil.” Aku menyimak ucapan Ibu seraya memeluk erat tubuhnya.
“Kita hidup dalam keadilan yang sangat jauh. Sebagian orang menghormati yang lebih kaya, sebagian orang menghormati orang yang cantik. Namun, apakah kau tau?” Ibu menatapku dengan senyuman.
“Ada sebagian lagi yang menatap orang dari hati mereka. Karena apa? Karena mereka pernah mengalami hal pahit tentang ketidakadilan dunia.”
“Ingatlah satu hal, Nak. Kamu pasti bisa mengalami ini semua. Ada kalanya kamu akan menemukan kebahagiaanmu sendiri. Tapi, untuk sekarang, Tuhan ingin mengujimu terlebih dahulu. Ibu sangat yakin itu. Ingat, hanyalah Tuhan yang bisa bersikap adil.”
Aku mengangguk lalu kembali memeluk Ibuku dengan erat. Hari ini aku tau, bahwa semua orang pasti akan mempunyai kebahagiaannya sendiri. Tinggal kita saja yang mau menunggu dengan terus semangat menjalani hidup, atau menyerah.
Penulis: Fita Arofah






