Redup awan hitam memecah bumi. Dersik angin yang lembut terus bersahutan. Hingga, mentari yang hangat berubah menjadi arunika yang mampu menenangkan relung hati, bagi siapa saja yang mau menikmati. Senja.
Aku yang tadinya sedang menikmati indahnya senja pun segera beranjak berdiri dengan lunglai. Sungguh rasanya aku malas sekali untuk memasuki rumah yang tak layak untuk dihuni. Ya, Tuhan. Kapan aku bisa hidup kaya-raya? Aku lelah dengan semua ini. Aku benci! Dengan sosok Ibu yang tidak bisa memberi aku apa-apa. Memang kasih sayangnya-Ibu sangat tulus, tapi itu tidak bisa membuat aku puas. Kecuali, materi!
Cerpen – Terbuat dari Apa Hati Ibu by Marni
Aku pun mulai membuka pintu yang terbuat dari bambu tua dengan kasar dan menatap sinis pada Ibu yang sedang tersenyum ke arahku. Ibu pun melanjutkan acara memasaknya penuh dengan ketenangan di sana. Rumah kami sangat kecil, jadi dari depan pintu utama pun bisa langsung melihat isi dapur yang bersebelahan dengan kamar, maupun ruang tamu. Bunyi cecak dan nyamuk mengganggu aktivitasku sehari-hari.
Aku pun segera mendaratkan bokong dengan pelan pada kursi yang lagi-lagi terbuat dari bambu tua. Andai ini sofa, pasti aku langsung bisa menghempaskan tubuh, tanpa takut rasa sakit. Perutku mulai berbunyi. Berdecih karena yakin Ibu memasak makanan yang membuat mulut tidak nafsu untuk menyantap.
“Ibu, masak apa?” tanyaku bersedekap.
Artikel yang sesuai:
“Seperti biasa, Laras,” jawab Ibu sembari mempersiapkan makanan yang sudah matang dengan gerakan cepat.
Aku diam tak berkutik. Ulu hatiku rasanya tercabik-cabik, jika mendengar kata ‘seperti biasa’. Tanpa memedulikan panggilan Ibu yang meminta aku makan, aku pun segera masuk ke dalam kamar dengan menutup pintu dengan kasar. Rasanya tiada hari tanpa membanting pintu. Aku mengacak rambut frustrasi.