Cerpen – Kehidupan yang Tak Adil by Fita Arofah

Cerpen - Kehidupan yang Tak Adil by Fita Arofah

Kanaya, itulah namaku. Aku selalu dipanggil si pintar oleh semua siswa. Aku juga mendapat beasiswa di sekolah favorit. Namun, itu tak membuatku disegani maupun dihormati oleh para teman-temanku.

Bagi mereka, aku hanyalah gadis berpenampilan cupu, berjerawat dan berbadan gemuk. Kadang aku suka kurang percaya diri dengan tubuhku. Memangnya, apa yang salah dari diriku? Aku ingin kurus, bebas jerawat dan tampil modis. Namun, semua itu tak bisa kulakukan karena aku hanyalah anak dari keluarga miskin. Bagaimana tidak, untuk makan sehari-hari saja harus menjual hasil kebun terlebih dahulu.

Cerpen – Kehidupan yang Tak Adil by Fita Arofah

Kebun di rumah kami sangat kecil. Satu kali menjual hasil kebun itu saja hanya berkisar antara Rp 50.000 saja, dan nominal itu terbilang kecil untuk aku yang tinggal di kota besar seperti Jakarta.

Aku hanya tinggal bersama ibuku, beliau adalah seseorang yang sangat berharga bagiku. Ayahku pergi dan menceraikan ibu sewaktu aku masih berumur 2 tahun.

“Hey, Cupu. Tolong gantikan tugasku mengepel lantai ini,” ucap salah seorang gadis bernama Lila. Namanya cantik, pun dengan orangnya. Namun, sayang, perilakunya yang begitu buruk membuatku tak menyukai gadis itu. Aku yang sebenarnya bersiap pulang lantas mengurungkan niatku.

Tak ada cara lain selain mengiyakan ucapan Lila. Aku harus apa, kalau aku menolak perintahnya, maka aku akan dirundung lagi oleh Lila dan para temannya. Apalagi, Lila termasuk siswi tercantik di sekolahku. Pasti lebih banyak yang mau mendukung Lila dari pada aku.

Aku mengepel lantai kelasku. Lantai itu hampir bersih. Namun, kembali kotor setelah Lila dengan sengaja menumpahkan air bercampur tanah di lantai yang baru saja aku bersihkan. Aku ingin marah. Namun, aku tak bisa apa-apa.

Lila termasuk kedua temannya menertawakanku. “Ayo, bersihkan lagi lantainya. Dasar pemalas, masa tidak bisa membersihkan lantai? Tuh, lantai itu masih kotor.”

Aku kembali mengepel lantai itu tanpa mengucap sepatah katapun. Aku tau kalau Lila hanya ingin memancing emosiku saja. Tak apa, seorang Kanaya harus kuat. Aku terus mengucapkan itu dalam hati.

Lantai itu hampir bersih. Namun, Lila kembali menumpahkan air kotor dengan sengaja. Sungguh, hatiku sangat sakit ditambah badanku yang sangat lelah karena berkali-kali membersihkan lantai itu.

“Ayo, bersihkan lagi, Cupu,” perintah Lila dengan nada mengejek. Aku menahan air mataku dengan sekuat tenaga.

Melihat tidak ada pergerakan dariku, Lila lantas menatap tajam ke arahku dan mendorongku dengan kasar.

Tinggalkan Komentar