Cerpen – Sebuah Pengkhianatan by Fita Arofah

Cerpen - Sebuah Pengkhianatan by Fita Arofah

Kay, mereka memanggilku dengan nama seperti itu. Aku adalah seorang gadis tomboy, galak, bersikap seenaknya dan tak suka bergaul dengan banyak orang. Sahabatku hanya satu, yaitu Claudia.

“Hei, Kay. Di mana pensil yang kupinjamkan kepadamu?” tanya Claudia.

Cerpen – Sebuah Pengkhianatan by Fita Arofah

“Aku lupa menaruh di mana pensil itu.” Claudia melotot, ia menggeplak pahaku dan membuatku meringis kesakitan.

Aku menatap Claudia dengan pandangan penuh tanya. “Ada apa? Kenapa kau terlihat sangat marah?” tanyaku dengan perasaan kesal. Pahaku masih terasa sakit karena Claudia.

“Itu kan, pemberian dari mantanku.” Aku melotot tatkala Claudia berkata demikian.

“Hei, kan hanya mantan. Lagi pula, mengapa kau masih menyimpannya?” tanyaku.

Raut Claudia berubah murung. “Itu, karena pensil itu adalah salah satu kenangan darinya. Walaupun dia mantanku, aku tak bisa melupakannya,” ucap Claudia sembari menunduk.

“Memangnya hal apa yang membuatmu tak bisa melupakannya? Kan, kalian juga sudah putus,” ucap ku dan dibalas helaan napas oleh sang empu.

“Kami putus bukan karena masalah lain, kami putus karena dia menderita kanker. Dia yang memaksaku agar putus, dan setelah beberapa hari kami putus, aku mendengar kabar bahwa dia sudah meninggal.” Aku terkejut dengan perkataan Claudia. Malang sekali nasibnya, karena iba dengan raut Claudia saat ini, aku mengelus punggung Claudia yang terlihat rapuh.

“Begitu, ya? Maaf, Claudia. Aku benar-benar tidak tahu akan hal itu. Aku bantu cari pensil punyamu, ya?” Claudia mengangguk lemah. Aku pun mencari pensil itu di tasku, dan hasilnya tak ada. Aku juga mencari pensil milik Claudia di tempat pensil, buku, dan laciku. Namun, nihil. Aku tidak bisa menemukan pensil itu.

“Maaf, Claudia. Aku tidak menemukan pensil itu,” ucap ku dengan murung.

“Tidak apa-apa, kok,” jawab Claudia dengan senyum pedih. Aku semakin merasa bersalah terhadap Claudia. Seandainya saja aku tak sembarangan menyimpan pensil itu, mungkin sampai sekarang masih ada.

“Aku ke kelas dulu, ya.” Aku menganggukkan kepala karena memang bel masuk hampir berbunyi. Ya, kami berdua memang beda kelas, namun itu tak membuat persahabatan kami merenggang.

Setelah Claudia keluar dari kelasku, aku menatap murung benda yang baru saja aku sembunyikan. Benda itu adalah pensil yang katanya pemberian dari mantan Claudia. Aku tersenyum miris, ternyata Claudia sama saja dengan anak yang lain. Dia hanya mau memanfaatkan ku saja.

“Claudia, ternyata kau sama saja seperti orang lain. Aku kecewa kepadamu.” Aku memegang erat pensil itu dengan mata memanas. Ini memang sudah aku rencanakan sedari awal. Berawal dari beberapa gadis yang bergosip tentangku dan aku tak sengaja mendengarnya. Awalnya aku juga tak percaya dengan apa yang mereka katakan. Namun, sekarang aku sangat yakin setelah aku membuktikannya sendiri.

“Lihat saja, aku akan membuatmu tahu rasa sakit karena pengkhianatan,” gumamku dengan lirih.

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn