Kuraih tangan halusmu dan menekankannya di rahangku. Anggukanku pasti bisa kau rasakan. Seketika cerahnya sore tertunduk pada pancaran wajahmu. Dan untuk pertama kali, lengan kurusmu memeluk tubuhku dengan kerelaan. Kamu tahu, semua huruf yang kupunya tak akan cukup kugunakan untuk menyerukan bahagiaku. Perasaan yang menyesak memenuhi jiwa. Meletup-letup dada agar menyeru pada dunia, betapa aku bersyukur memilikimu. Bahkan dengan keterbatasan yang melingkup ruang kita.
“Apakah Bunda mengizinkan?”
Kembali kususun balok huruf dan menuntun jemarimu.
“Sama Bunda?”
Tangan lembutmu kutahan di rahangku, agar aku hanya perlu mengangguk untuk tanyamu yang berjawab ya atau tidak.
Artikel yang sesuai:
Sebenarnya aku ingin mengatakan, kalau aku akan memenuhi semua inginmu. Membuatmu bahagia adalah bahagiaku. Kesempurnaan bahagiamu adalah puncak bahagiaku. Tapi itu terlalu panjang untuk kurangkai dari balok huruf. Mungkin aku perlu belajar cepat menggunakan reglet dan stilus agar lebih mudah berbicara denganmu.
Dan pagi ini, hari yang kujanjikan tiba. Lihatlah, betapa cantikmu mengalahkan cerahnya dunia. Tak perlu makeup fana, pesonamu sudah sedemikian paripurna. Mengenggam tanganmu adalah hal yang kusuka. Karenanya aku merasa sempurna.
Balok huruf tak kulupa. Dengan itu aku dekat denganmu. Kususun sesaat sebelum pergi, sekedar bertanya meski roman wajahmu telah mengatakan segala isi hati.
“Aku sudah siap, Abang.”
Telah hafal, kali ini tanpa kuminta, tanganmu telah berada di rahangku. Aku mengangguk. Senyum yang kuberikan telah terpindai jelas jemari dan menular sempurna di bibirmu yang menawan. Pun Bunda. Aku rasa, beliaulah orang yang paling bahagia sekaligus bangga saat ini. Tak hanya kulihat dari pancaran mata tapi bisa kurasakan dari usapan tangan mulianya. Padaku dan padamu.