“Hati-hati bawa mobilnya, Bara. Fokus pada jalan, jangan pada Nahia.”
Seketika gelak kalian kudengar bagai simphoni surga. Semburat rona di wajahmu menambah syahdu. Sungguh aku merindu. Kalian, dua orang wanita paling berharga di hidupku.
“Abang dengar Bunda?” Aku mengangguk. Dan lagi-lagi, senyummu mengalihkan laraku.
“Bismillah, ayo berangkat. Keburu siang. Perjalanan kita cukup jauh.”
Jempol yang kuacungkan mewakili jawabku pada seruan Bunda.
Artikel yang sesuai:
Beberapa jam perjalanan, impianmu telah tiba. Lautan biru terpampang di depan mata. Bahkan angin semilir ini membawakan warta tentangnya. Tak perlu kususun balok huruf, dari bahasa tubuh aku memahami yang kau rasa.
“Apakah kita sudah sampai, Abang?” Aku mengangguk antusias.
“Sudah, Sayang. Siap-siap, ya. Tunggu Bara.”
“Baik, Bun.”
Seri di rautmu betah bertahan. Kuharap tak akan pernah pergi. Ini baru awal. Janjiku tak perlu kulisankan karena hati telah berakad.
“Biar Bunda yang siapkan bekal, Bara. Kamu bawa Nahia.”
Aku mengangguk dengan senyum terkembang. Dalam benak kucari cara untuk bercerita tentang laut yang kulihat padamu. Akankah bisa mewakili semua keindahan sempurna ini?
Sengaja ku bawa ke pantai yang sepi, jarang dikunjungi orang. Meski jauh. Agar suara alam impianmu ini bisa kautangkap dan kau rasakan tanpa cela. Jauh dari hiruk pikuk seruan manusia juga mungkin dari pandang kasihan yang akan mereka layangkan pada kita. Meski telah terbiasa, namun aku tak ingin momen penting bersamamu ternoda oleh bisikan-bisikan tak berguna.