Sebelum mengangguk, aku menatapmu. Tertegun sekaligus kagum. Demikian jelas kau menggambarkan. Penggambaran yang mungkin kau peroleh dari buku. Aku ingin tahu, apakah yang terlintas dalam anganmu secantik penggambaranmu, sedang netra tak pernah menatap?
“Pasti sangat indah.” Aku mengangguk sekali lagi. Lagi kususun kata. Semburat jingganya menerpa wajahmu.
“Mungkin membuatku terlihat cantik.” Ucapmu bersemu malu.
Kususun lagi kata. Jingga itu memuja cantikmu.
“Abang pandai membuat senang.”
Artikel yang sesuai:
Dengan senyum penuh susunan hurufku mengatakan bahwa ribuan senja jingga tak bisa menggantikan indahmu.
Senyummu terkulum. Menggerakkan tangan, jemarimu meraba lembut seluruh wajahku. Jika kau mencari kebohongan, bisa kupastikan tak akan kau dapat.
“Apakah Abang sangat mencintai Na?” Aku mengangguk. Susunan hurufku menyusul. Kenapa?
Sesaat diam, aku bersabar dalam debar.
“Karena Na, juga.”
Lihatlah, semburat di wajahmu semakin menawan. Jika ingin kusampaikan rasa hati dengan perbuatan, bukankah itu wajar?
Rengkuhku tampaknya tak mengejutkanmu. Kumaknai dengan ingin yang bersambut, ketika kedua lengamu melingkari leherku. Maaf jika aku tak lagi bisa menahan diri karena pesonamu. Bibir merahmu sungguh menawan. Lembut kecupanku disana berbalas hangat, hingga aku menginginkan lebih dari sekedar mengecup.
Dadaku bergemuruh riuh oleh jantung yang berdegup tak menentu. Inginku mencium seperti yang kulihat dalam cerita film atau yang kubaca dalam kisah romance. Namun kenapa begitu sulit? Bahkan deburan ombak yang menerpa pantai tak mampu memudahkan.