Pandangannya berangsur normal. Samar-samar ia melihat atap rumah terbuat dari jerami kering dengan batang kayu yang menyangga. Di dalam keheranannya, ia melihat peralatan dapur masih tradisional dan hanya ada satu dipan yang terbuat dari kayu tempat ia terbaring.
Ben, keluar dari pondok itu. Betapa ia terkejut, bahwa ia berada di pemukiman yang tak biasa. Tanpa ia sadari, Ben telah memasuki pemukiman kampung Bubung Tujuh. Sebuah kampung dengan tujuh rumah yang tersembunyi di balik pagar gaib di hutan itu.
Anak kecil berambut ikal mendekatinya. Ia hanya diam, lalu berlari memanggil seseorang. “Bang…abang“, suara teriakan itu jelas sekali. Tak lama para warga datang seperti merasa tidak aman. Mereka berjaga jarak dan berbisik-bisik. Anak kecil itu datang lagi bersama seorang pria berkulit putih mendekatinya.
“Kamu dari mana?,” ucap pria bule dengan ikat kepala yang terikat. Ben diam sejenak. “Aku Ben dari Pangkalpinang, aku tersesat di hutan saat bekerja”. Jawab Ben jujur. Pria western sedikit terkejut ketika ia mengatakan asalnya dan berbicara dengan bahasa Indonesia yang kaku. Reeck, begitulah ia mengenalkan dirinya.
Reeck memberitahu kepada para warga, bahwa Ben bukan orang yang memiliki niat jahat. Ia tersesat sama seperti dia dulu saat bekerja dan dari sini Ben melihat adanya kedekatan antara dia dan warga Bubung Tujuh. Perlahan, wajah-wajah para warga mulai terlihat ramah.
Artikel yang sesuai:
Ben lega, keberadaannya diterima oleh mereka. Reeck berkata pada dirinya, bahwa ia sudah pingsan selama dua hari.
Warga kampung Bubung Tujuh melanjutkan aktivitasnya, para laki-laki berkebun di ladang sedangkan para perempuan sibuk dengan menenun kain cual dan anak-anak bermain sebuah gasing di dekat lumbung beras.
Mereka berdua berjalan beriringan, Ben menelusuri pemukiman warga yang hanya terdiri dari tujuh bangunan rumah utama. Sesekali mereka berbincang seperti teman lama. “Kamu tidak ingin kembali?”, tanya Ben penasaran. Pria western itu hanya memandangi langit ketika mendengarnya. “Kembali?”, ucapnya jelas, “Ini rumahku…”. Jawab Reeck tanpa keraguan.
Ben hanya tersenyum dan kembali bertanya kepadanya. “Dunia luar sekarang berbeda dengan dulu. Kini negara baru telah berdiri-“, Ben menatapnya. Pria Belanda itu seakan tahu maksudnya. “Indonesia?”, tatapnya menerka isi pikiran laki-laki di sebelahnya.
“Benar”, Ucap Ben lalu melanjutkan, “Belanda sudah tidak berada disini lagi. Mungkin aku bisa menyampaikan pesan kepada keluargamu?”. Ben meliriknya menunggu jawaban pasti. “Bagiku, mereka adalah keluarga.
Aku tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini selain mereka…”, Reeck menatapnya balik. “Disini aku mendapatkan keluarga baru dan akan menjaganya”. Senyum tulus itu seakan telah memberi jawaban yang mewakili dirinya seutuhnya. Ben paham. Ini adalah keputusan baginya, ia tidak bisa berbuat lebih karena itu.
Sesepuh adat melakukan sebuah ritual memohon pertolongan dan keselamatan untuknya, Ben. Ia akan kembali ke dunianya lagi. Mereka semua menghantarkan di pinggir hutan yang ada jalan setapak. Anak kecil itu memberi sebuah kain cual yang ditenun oleh ibu-ibu di kampung itu.
Sesepuh adat memberinya sebuah jimat yang terbungkus daun Simpur[5] yang tidak boleh dibuka sebelum ia sampai tujuan. Hanya satu yang membuat sedikit membuat hatinya terasa haru sekaligus senang yaitu para warga yang telah menolongnya dan Reeck tidak ikut bersamanya untuk kembali ke dunianya.
Baginya, warga disini adalah rumah bagi dirinya dan hidup terasa bahagia serta merelakan segalanya di masa sebelumnya.
Sebelum Ben kembali, hanya ada satu pesan ia titipan kepada temannya itu. “Tolong jaga hutan untuk kami disini…”, Reeck berpesan dengan senyum tulus dan warga yang ramah mendampinginya. Mereka berdua berpelukan dengan berat hati, Ben berpamitan dan mengucapkan selamat tinggal kepada penduduk Kampung Bubung Tujuh dan dia, Reeck.
[5] Simpur : tanaman hutan berdaun lebar